Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Uniknya Anak- anak: Bullying di Sekolah Bisa Merusak Potensi

9 Juni 2013   20:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:17 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13707855521835462865

Keping- keping jalan kehidupan itu...

INI cerita tentang bagaimana bagaimana kita sebagai manusia harus belajar ikhlas. Berusaha tapi lalu memasrahkan hasilnya pada Sang Kuasa.

Mudah diucapkan, sama sekali tak mudah untuk dijalankan.

Ikhlas seharusnya terbebas dari rasa kesal, marah, sakit hati, sebab tahu bahwa itu semua suratan. Apalagi jika hasil akhirnya sebetulnya baik.

Dan aku, dengan segala kekuranganku, walau berusaha memahami, dan bersyukur atas jalan yang diberikanNya, atas kasih dan karunia yang tak putus mengalir dari Sang Maha Cinta, bahkan hingga kini masih juga menyimpan bara kemarahan, yang entah kapan akan padam sehingga aku tak lagi kesal pada seorang Kepala Sekolah SD dimana anak bungsuku suatu saat terdaftar sebagai muridnya..

Kepala Sekolah ini tak kukenal. Kedua kakak si bungsu tak pernah diajar olehnya. Dia juga baru beberapa bulan menjadi Kepala Sekolah. Kali pertama kutemui dia, saat si bungsu dinyatakan tidak bisa masuk kelas akselerasi.

Aku marah dan kecewa, bukan semata karena anakku tidak bisa masuk akselerasi seperti kedua kakaknya. Tapi, terlebih karena tak pernah bermimpi akan menemukan seseorang seperti itu di institusi pendidikan.

Itu sungguh mencederai cerita tentang para peri dan bidadari. Tentang kebaikan dan keluhuran budi yang selalu didongengkan sebelum tidur pada para kanak- kanak.

Kuurut ke depan, ke belakang. Kupahami akhirnya, mengapa begitu banyak kejanggalan terjadi selama seleksi. Aroma kecurangan itu sangat kuat. Gemerincing pundi uang jelas terdengar.

Mereka bersikeras bahwa keputusan yang kami pertanyakan keabsahannya itu final. Mengabaikan second opinion, hasil test ulang dari psikolog lain untuk menjawab keheranan kami atas hasil test janggal dan cara pembagian hasil test yang juga tidak umum yang kami terima dari sekolah.

Pernah melihat hasil test psikologi, hasil test IQ, diberi label "tidak lulus" ?

Itu lawakan yang tak lucu, yang dilakukan oleh sekolah itu, memberi label serupa itu.

Ajaib. Menggelikan, dan...

Duh, maafkan aku, Sang Maha Cinta, untuk kemarahan dan sakit hati yang masih juga ada ini.

***

Second opinion itu mengejutkan aku dan suamiku.

Psikolog yang memberikan second opinion adalah psikolog yang sebelumnya selama bertahun- tahun dipergunakan oleh sekolah tersebut ( juga oleh banyak sekolah lain ) untuk seleksi program akselerasi sebelum secara mendadak diganti oleh psikolog lain di tahun itu.

Second opinion itu menyatakan hasil yang membuat aku dan suamiku menyadari, ini bukan semata urusan kelas akselerasi tapi lebih dalam dari itu.

Dan sekolah seharusnya turut bertanggung jawab untuk itu, sebab semua ini terjadi di sekolah.

Hasil test IQ si bungsu dari second opinion itu tak mengherankan. Terbaca bahwa berdasarkan potensinya seharusnya si bungsu bisa masuk kelas akselerasi.

Bukan hasil berbeda itu saja yang membuatku (makin) geram. Tapi bahwa jiwanya ternyata cedera.

***

[caption id="attachment_259059" align="aligncenter" width="348" caption="Gambar: joshuapundit.blogspot.com"][/caption]

Menyadari karakteristik dan potensi kedua anak terbesarku, telah beberapa tahun aku melakukan telaah literatur tentang anak- anak yang memiliki intelegensi tinggi. Kupelajari karakteristik mereka. Kuserap berbagai informasi dan referensi.

Suka atau tidak suka, kutahu setelah itu bahwa kecerdasan seseorang dibagi dalam beberapa kelompok. Dan ada garis batas angka tertentu dimana anak dengan score IQ di atas itu dimasukkan ke dalam kategori 'gifted' -- berbakat.

Lalu, yang gifted ini dikelompokkan lagi.

Anak sulung kami ternyata secara intelegensi kategorinya moderate gifted. Hasil test IQ maupun karakteristiknya memang cocok dengan apa yang dijelaskan dalam tulisan- tulisan yang kubaca.

Konon, anak- anak dalam kelompok ini adalah anak- anak yang paling bahagia di sekolah. Sebab pelajaran sekolah tak pernah menyulitkan mereka. Juga, mereka masih bisa memahami mengapa kerutinan dan aturan di sekolah itu harus ada.

Ada lagi yang disebut highly gifted. Disinilah anak tengahku berada. Tak heran jika dia sering bingung melihat dunia. Atau tak dipahami dunia. Sebab, prosentase orang yang masuk kelompok ini sangat kecil.

Kumengerti kini pasal riwayat mogok sekolahnya. Secara karakter, anak- anak dalam kelompok ini memang tak cocok bersekolah di sekolah regular. Mereka berkebutuhan khusus. Di negara- negara maju anak seperti itu dibuatkan sekolah tersendiri.

Dan rasanya bisa kuraba di kelompok mana anak bungsuku berada.

Kuduga, dia ada di kelompok yang sama dengan kakak sulungnya. Moderate gifted. Maka secara teori, dia bisa menjadi anak yang bahagia di sekolah, dengan prestasi cemerlang secara akademik. Begitu yang terjadi di play group, begitu pula di taman kanak- kanak. Tapi, memang dia banyak murung saat sudah duduk di Sekolah Dasar.

Aku dan ayahnya berusaha menghibur dan menjembatani keluhannya.

Aku tak terlalu sepakat dengan cara guru kelas 1-nya mendidik. Tapi kami memang bukan orang tua yang sedikit- sedikit protes ke sekolah. Kami kuatkan hati anak kami. Juga tentang gangguan dari teman- temannya, kami upayakan diatasi.

Guru kelas 1 anak bungsuku berbeda dengan guru kelas 1 kedua kakaknya. Sebab guru kakaknya saat itu dirotasi untuk mengajar kelas 2 SD.

Kelak di kelas 2 si bungsu diajar juga olehnya. Guru baik di kelas 2 ini bisa sedikit meredam cedera hati yang rupanya terjadi ketika kelas 1. Tapi belum cukup untuk memulihkan dia yang ternyata menurut second opinion yang kami dapatkan, terhambat prestasinya sebab ada bullying terjadi di sekolah. Bukan semata oleh teman- temannya, tapi juga... gurunya.

Aku seperti menyaksikan sebuah film berputar di depanku, kembali pada saat dia duduk di kelas 1 SD.

Sungguh kusesali mengapa dalam rangka membuat si bungsu kuat menghadapi dunia, kami orang tuanya agak lalai menyadari bahwa jika itu berasal dari orang dewasa, apalagi yang memiliki otorisasi seperti guru kelas, maka bully terlalu berat untuk dihadapi seorang anak seusia itu dan bisa menjatuhkan mentalnya sampai ke dasar. Merusak potensi. Menghilangkan kebahagiaannya.

Kepala Sekolah yang arogan itu sama sekali tak perduli. Mengabaikan apa yang dinyatakan dalam laporan psikolog kedua itu.

Sebab kami bersikeras, kami diminta menghubungi seseorang yang konon 'ahli' yang oleh mereka dijadikan penasihat. Yang ternyata percuma. Sebab ada banyak kepentingan bermain disana.

Kami berniat menaikkan kasus itu ke yayasan yang menaungi sekolah tersebut. Atau jika perlu, mengadukan ke Diknas.

Tapi, kami berhati- hati mengambil tindakan. Karena si bungsu sendiri tanpa ragu mengatakan dia ingin pindah sekolah saja. Tak lagi memikirkan kelas akselerasi, yang diinginkannya semata pergi dari sekolah itu ke sekolah baru yang lebih menyenangkan hati.

Sementara itu, hari keberangkatan kami ke Tanah Suci makin mendekat...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun