Itu lawakan yang tak lucu, yang dilakukan oleh sekolah itu, memberi label serupa itu.
Ajaib. Menggelikan, dan...
Duh, maafkan aku, Sang Maha Cinta, untuk kemarahan dan sakit hati yang masih juga ada ini.
***
Second opinion itu mengejutkan aku dan suamiku.
Psikolog yang memberikan second opinion adalah psikolog yang sebelumnya selama bertahun- tahun dipergunakan oleh sekolah tersebut ( juga oleh banyak sekolah lain ) untuk seleksi program akselerasi sebelum secara mendadak diganti oleh psikolog lain di tahun itu.
Second opinion itu menyatakan hasil yang membuat aku dan suamiku menyadari, ini bukan semata urusan kelas akselerasi tapi lebih dalam dari itu.
Dan sekolah seharusnya turut bertanggung jawab untuk itu, sebab semua ini terjadi di sekolah.
Hasil test IQ si bungsu dari second opinion itu tak mengherankan. Terbaca bahwa berdasarkan potensinya seharusnya si bungsu bisa masuk kelas akselerasi.
Bukan hasil berbeda itu saja yang membuatku (makin) geram. Tapi bahwa jiwanya ternyata cedera.
***