Bukan (hanya) oleh kawan seusianya tapi juga oleh orang tua kawannya itu.
Dan saat dia dicurangi itu, kami, aku dan ayahnya, memilih untuk tak melawan secara frontal kecurangan itu tapi kami bicara pada putri sulung kami bahwa kami tahu dialah seharusnya yang menjadi juara. Tak perlu kecil hati jika kemudian dengan curang gelar juara itu jatuh pada orang lain.
" Semua orang tahu siapa juaranya, " itu yang kami katakan padanya, " Tetaplah berusaha, dan sekian tahun lagi, kita lihat siapa juara sejatinya. "
Putri kami, 11 tahun usianya saat itu, sedang menjalani tahun terakhirnya di SD.
Sulungku ini menyelesaikan SD-nya dalam waktu 5 tahun. Dia termasuk angkatan pertama kelas akselerasi di SD-nya. Namun bukan semata soal kelas akselerasi yang ingin kuceritakan di sini. Yang terpenting yang ingin kuceritakan adalah bahwa membangun mental juara itu bukan pekerjaan instan.
Aku adalah orang tua yang selalu prihatin melihat anak- anak dalam usia dini dipacu untuk mencapai prestasi ini dan itu, dan lalu dipamerkan kemana- mana bahwa dia juara. Aku sendiri tak pernah berminat menjadikan anak- anakku menjadi bahan pameran seperti itu. Sebab aku percaya, pendidikan anak adalah urusan jangka panjang.
Bukan hanya otaknya yang perlu dibangun, tapi juga hatinya.
Jiwanya.
Pernah kudengar cerita memprihatinkan tentang kakak kelas putriku. Juara ini dan itu sejak SD, termasuk peraih medali emas olimpiade. Dan yang kudengar, anak ini bahkan sejak SD sering menjerit- jerit di sekolah, tak tahan atas tekanan yang diberikan oleh orang tuanya untuk harus berprestasi, harus menjadi juara. Harus selalu nomor satu.
Kudengar, dia makin bermasalah saat dia masuk SMP dan SMA.
Dia masih berprestasi, masih menjadi juara ini dan itu. Dan orang tuanya, terutama ibunya, selalu dengan bangga melaporkan pencapaian prestasi anaknya dimanapun, baik saat mengobrol dengan ibu- ibu lain, juga di status facebooknya.