Makan di luar di akhir pekan...
BEGITU topik tulisan yang kubaca di akun mas Venusgazer tadi. Tulisan yang serta merta membuatku teringat pada almarhum Bapak.
Dalam hal makanan, aku harus berterimakasih pada Bapak. Bapak membuat lidah kami fleksibel dan mudah beradaptasi dengan berbagai jenis makanan.
Saat kami kecil, Bapak membuat menjadi semacam 'tradisi keluarga'. Di hari Sabtu malam, kami akan makan di luar, dekat- dekat saja di dalam kota. Lalu hari Minggunya, kami akan pergi ke tempat yang lebih jauh.
Mencari duren, jika sedang musim, ke pinggiran kota. Atau mengunjungi objek- objek wisata.
Bapak, pada dasarnya berpembawaan praktis dan sederhana, namun selalu terbuka pada hal serta inovasi baru.
Begitu juga dalam hal makanan.
Di malam Minggu itu kami bisa pergi kemana saja, ke tempat ayam panggang yang nikmat di kaki lima di tepi sungai yang membelah kota, atau bakmi atau siomay yang enak, bisa juga ke restoran yang menyajikan menu internasional.
Di kemudian hari aku baru menyadari, sikap 'biasa- biasa saja' dan 'sama saja' yang ditunjukkan oleh orang tuaku baik saat kami makan di kaki lima maupun di restoran dengan menu internasional yang agak mahal itulah yang di masa dewasaku membuatku sering heran jika ada orang- orang yang dengan bangga dan tampak sekali 'merasa keren dan gaya' menceritakan pernah makan disini dan disana -- tentu biasanya yang disebut- sebut itu tempat- tempat makan yang mahal.
Alih- alih terkesan, sejujurnya aku malah merasa tingkah semacam itu agak 'lucu'. Â Sebab bagiku, di kaki lima atau di restoran mahal, tak terlalu juga penting sebenarnya. Bukan itu esensinya, menurut pendapatku.
***
Dulu itu, sambil menikmati makanan, Bapak membagi berbagai cerita pada kami. Atau juga, mengajari kami banyak hal yang berhubungan dengan makanan atau tata cara makan..
" Ambil dari yang paling luar, " begitu kata Bapak ketika kami pertama kali melihat sendok dan garpu berderet- deret terpasang di meja.
Bapak juga yang mengajari kami bagaimana mengiris steak dengan pisau dan memakannya dengan garpu.
Bapak pula yang menceritakan pada kami bahwa buah jambu mente itu enak jika digunakan sebagai campuran rujak petis. Atau bahwa kembang turi, yang pohonnya jarang sekali bisa ditemui di kota tempat kami tinggal saat itu, di daerah lain biasa dimakan.
Jika Bapak kebetulan bepergian ke luar kota, saat pulang selalu dibawanya buah tangan berupa makanan khas setempat.
Bapak, juga kerapkali menceritakan pada kami urusan masak- memasak yang dilakukannya, dan juga oleh teman- teman lain sesama mahasiswa ketika bersekolah di Jerman. Cerita yang biasanya juga diikuti dengan cerita lebih luas tentang Jerman dan Eropa. Begitu pula jika berkunjung ke negara lain.
" Orang Jepang itu makan nasi pakai sumpit, " katanya suatu ketika sepulang dari sana. " Dan ada makanan khas-nya yang dimakan mentah... "
Dimakan mentah?
Cerita tersebut membuat kami yang saat itu masih kecil- kecil takjub lalu meminta Bapak menceritakan lebih banyak. Dan Bapak membagi kisahnya tentang orang Jepang, Â makanan serta budaya disana.
***
Maka begitulah.
Terbiasa terbuka terhadap berbagai rasa, lidahku selalu siap mencoba dan mencicipi hal- hal baru.
Termasuk jika itu bertentangan dengan pendapat umum...
Seperti ketika suatu saat aku harus bepergian ke India untuk urusan pekerjaan.
Teman- temanku mengerenyitkan dahi. Mereka menceritakan tentang India yang menurut mereka jorok dan primitif. Juga, 'nanti susah cari makanan, ' komentar seorang kawan.
" Bawa banyak- banyak mie instan, " kata kawan yang lain, " Jadi kalau nggak bisa makan, paling sedikit punya mie... "
Kawan lain di kantor regional di Singapore menasihatkan padaku untuk selalu dan hanya membeli makanan di hotel tempat menginap nanti saja -- dengan asumsi bahwa makanan di hotel bintang lima tempatku menginap akan bersih -- sambil menambahkan ancaman sakit perut dan diare jika aku tak menuruti nasihatnya.
Dan... apa yang terjadi setibanya aku di sana?
Ha ha ha ha ha. Mie instan itu tak pernah kusentuh sama sekali, sebab aku bahkan bisa makan hampir semua makanan yang dijual di kantin dekat kantor di India sana.
Bukan hanya di kantin tapi pada suatu hari aku malah dengan senang hati mencicipi Pani Puri, jajanan kaki lima di Bangalore saat berjalan- jalan dengan seorang kawan penduduk lokal. Dan tidak sakit perut sama sekali sesudahnya. He he he...
***
Namun, sefleksibel- fleksibelnya aku, kejadian yang satu ini membuatku tercengang.
Aku menikah dengan seseorang yang berasal dari kota yang terkenal dengan pecelnya.
Di rumah mertuaku, sarapan di pagi hari artinya makan nasi pecel.
Lidahku dengan mudah menerima. Bukan hanya menerima, tapi bersorak, sebab pecel yang terhidang biasanya dicampuri banyak kembang turi.
Wow, nikmatnya...
Lalu, di kemudian hari, selama beberapa tahun salah seorang adikku tinggal di Eropa untuk mengambil program Doktor dan Post Doctoral Research-nya. Selama itu, seringkali kukirimkan bumbu pecel untuk dia dan istrinya di sana.
Kiriman yang selalu mereka terima dengan senang hati.
Sampai suatu hari, setelah Eropa, mereka sempat tinggal di Jepang untuk beberapa waktu, dan aku berkesempatan menengok.
" Mau dibawain apa? " tanyaku sebelum berangkat.
Mereka minta dibawakan bumbu pecel. Maka begitulah, kubawakan ke Tokyo apa yang mereka minta.
Istri adikku dengan gembira berkata, " Kita makan pecel malam ini, " katanya senang.
Kemudian malam harinya, dia mengiris- iris dan mengukus sayuran ( benar, yang dia lakukan saat itu adalah mengukus, bukan merebus ), lalu...
" Ayo makan... Makan... " katanya dengan nada gembira sambil menuangkan sayuran yang dikukusnya ke dalam mangkuk dan menuangkan bumbu pecel kesitu lalu mengaduknya.
Kutengok isi mangkuk, dan...
Hah?!
Pecel model apa ini???
Isi mangkuk itu bukan sayur- sayuran seperti daun bayam, pepaya atau beragam sayur lain seperti yang kubayangkan, tapi... wortel dan brokoli yang dilumuri bumbu pecel.
Oalaaah... Ha ha ha.
Semula, aku ragu akan rasanya. Tapi adikku dan istrinya mengatakan, begitulah biasanya sayuran untuk campuran bumbu pecel yang biasa kukirimkan pada mereka. Dan menurut mereka, pecel dengan sayuran semacam itu juga enak.
Rupanya, pepatah tiada rotan akarpun jadilah harus diterapkan. Tak ada kangkung, bayam, daun pepaya, apalagi kembang turi, maka wortel dan brokolipun jadilah.
Maka... jadilah, malam itu aku makan pecel wortel dan brokoli, yang eh... ternyata memang enak juga lho, rasanya. Betulan, deh. Ha ha.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI