Padahal, apa sih sulitnya mengeringkan kembali dudukan toilet dan wastafel yang baru saja digunakan itu. Apalagi di toilet kantor, dimana kita tahu bahwa pengguna toilet itu juga orang- orang yang kita kenal.
Memangnya siapa yang diharapkan mengeringkan dudukan toilet setelah kita menggunakan itu? Tentu tak pantas jika kita harapkan orang yang masuk ke dalam toilet setelah kita yang mengeringkannya, bukan?
Di kebanyakan kantor, petugas pembersih toilet tidak berjaga sepanjang hari di dalam toilet. Mereka akan datang beberapa kali dalam sehari. Dan diantara waktu- waktu tersebut, tentu para pengguna toiletlah yang diharapkan turut menjaga kebersihannya.
Dee tersenyum lagi mengingat cerita kawannya.
Ah memang, banyak orang yang lebih perduli untuk memoles penampilan tapi sama sekali tak berusaha memahami etika sederhana semacam meninggalkan toilet umum setelah dia gunakan dalam keadaan bersih.
Teringat cerita tentang toilet, Dee teringat kisah lain tentang toilet.
Toilet kadang- kadang bahkan berfungsi lebih dari sekedar tempat orang membuang air. Dia ingat beberapa tahun yang lalu pernah mengikuti sesi pelatihan dimana sang fasilitator, seorang ahli komunikasi, bercerita bahwa perusahaannya diminta memberikan jasa konsultasi di sebuah perusahaan besar.
Masalah yang terjadi dalam perusahaan ini adalah bahwa komunikasi atasan- bawahan tidak terjalin dengan baik. Apalagi antara para pegawai dengan direksi. Para direktur ini hampir- hampir tak pernah mendapatkan informasi dari lini bawah di perusahaan mereka. Bahkan pada kesempatan- kesempatan khusus dimana para pegawai diundang untuk berdiskusipun, tak ada informasi berarti yang disampaikan para pegawai. Seakan ada sekat diantara mereka.
Obervasi dilakukan. Dan solusi diberikan.
Solusinya tampak ‘out of the box’. Suatu saran yang di luar dugaan. Sesuatu yang tampak sederhana tapi rupanya tak sederhana.
Yaitu saran untuk meniadakan toilet eksekutif.