Nenek ini adalah nenek sambung. Nenek kandung ayahku telah meninggal dunia. Kakeknya kemudian menikah lagi, dan nenek sambung inilah yang kemudian merawat ayahku setelah suaminya, kakek kandung ayahku, meninggal dunia.
Tidak, aku tidak akan bicara tentang cinta. Sebab itu tak perlu dipertanyakan lagi.
Aku mengenal nenek buyutku ini cukup lama sebelum nenek buyut ini meninggal dunia ketika aku mahasiswa. Karenanya aku tahu, amat tahu, bahwa nenek buyutku ini mencintai ayahku dengan amat sangat. Tak ada pertanyaan tentang itu.
Dan begitulah. Aku yakin bahwa hidup sebenarnya tak sesederhana itu. Tak pernah mudah bagi seorang anak untuk menjadi yatim piatu bahkan pada usia balita. Dan kemudian ditinggalkan pula oleh kakek yang membesarkan saat mulai memasuki masa remaja.
Tapi itulah yang terjadi pada ayahku.
Walau tak pernah cerita itu disampaikannya dengan nada sedih yang berlebihan. Sepanjang yang dapat kuingat, ayahku selalu menceritakan hal- hal tersebut dengan gaya ‘just a matter of fact’.
Tapi barangkali, Yang Kuasa memang mengirimkan para malaikat dan bidadari untuk melindungi anak- anak yang kehilangan orang tuanya di usia sangat belia. Sebab dalam keadaan seperti itu ayahku tumbuh dengan baik.
Lulus dari SMP dengan nilai terbaik, ayahku memasuki sebuah SMA di sebuah kota besar yang bersebelahan dengan kota tempat tinggalnya saat itu. SMA di sebuah ibukota provinsi tersebut, hingga sekarang masih menjadi SMA favorit.
Aku ingat, selalu sambil tertawa- tawa, ayahku bercerita bahwa perjalanan ke sekolahnya ditempuh dengan kereta api. Dan jika anak- anak lain yang terlambat datang ke sekolah selalu mendapatkan hukuman dari para guru – yang konon luar biasa galak – tak begitu dengan ayahku. Jika terlambat tiba di sekolah, maka ayahku hanya perlu mengatakan "Kereta" dan guru- guru tak lagi akan bertanya. Semua guru tahu bahwa ayahku harus menempuh perjalanan sejauh puluhan kilometer dengan kereta api setiap harinya untuk tiba di sekolah. Demikian pula seringkali sebelum jam pulang sekolah ayahku sudah mengangkat tangannya dan kembali berkata "Kereta" untuk membuat gurunya mengijinkan untuk meninggalkan sekolah lebih awal agar ayahku dapat mengejar jadwal kereta pulang ke kotanya.
Ayahku selalu tertawa makin lebar saat ceritanya tiba pada hal ini: padahal pada banyak hari, keterlambatannya tiba di sekolah saat SMA itu bukan karena kereta yang ditumpanginya terlambat, tapi karena ayahku memang sengaja berangkat lebih siang dari rumah. Ha ha ha.
***