Pada suatu malam saat gerimis baru saja reda…
PEREMPUAN berkulit hitam itu memelukku erat. Tubuhnya yang tinggi besar membuatku tenggelam di dalam pelukannya.
“ You take care, OK? “ katanya, untuk kesekian kalinya.
“ I will, “ jawabku.
Lamaaa masih dipeluknya aku.
Lalu dilepaskannya pelukan itu, dan…
Dipeluknya lagi aku.
“ Keep in touch. “
“ Sure. Of course. “
Dan itu belum selesai. Sebab masih beberapa menit lagi dia menyampaikan pesan- pesan untuk terus berkomunikasi dengannya, dan memberitahunya tentang kegiatanku serta pekerjaanku yang baru. Ditekankannya bahwa dia bersungguh- sungguh saat mengatakan bahwa dia ingin terus berkomunikasi dengan aku tersebut. Dia ingin memastikan bahwa aku baik- baik saja dan bisa mengerjakan hal- hal yang menyenangkan, termasuk menerbitkan buku ke-2, katanya.
Perempuan Afro Amerika berjabatan tinggi di level regional itu kukenal karena kami bekerja untuk sebuah kantor yang sama. Walau asal kami berbeda, walau lokasi kerja kami berbeda.
Saat itu adalah hari- hari terakhir aku bekerja di perusahaan tersebut. Dan aku tahu, bahwa pelukan yang berulangkali terjadi itu sama sekali bukan basa- basi.
Itu memang pelukan hangat seorang sahabat.
Pelukan seseorang yang sangat menyesalkan keputusan yang kuambil untuk pindah bekerja ke tempat lain, tapi juga menyadari bahwa hal tersebut mungkin pilihan terbaik saat itu.
Dia memelukku sekali lagi sebelum akhirnya membiarkan aku pergi.
Kubalikkan badan dan melambai berpamitan padanya.
Dia balas melambai.
Dan tahulah aku bahwa kutelah menambahkan seorang lagi dalam daftar sahabat yang akan dapat kuhubungi setiap saat. Seseorang yang akan selalu bahagia jika aku bahagia, seseorang yang akan mengulurkan tangan saat aku membutuhkan.
Begitu pula sebaliknya.
***
[caption id="attachment_173979" align="aligncenter" width="239" caption="Sumber gambar: www.managingdiversity.co.uk"][/caption]
Bagaimana caranya menilai apakah seseorang baik atau tidak dari apa warna kulitnya, apa bangsanya, bahasanya atau apa agamanya?
Bagiku, tak mungkin melakukan itu. Terutama karena dengan berjalannya waktu, daftar panjang para sahabat yang berasal dari tempat- tempat yang jauh semakin bertambah panjang.
Dan agak sulit menggambarkan dengan kata- kata tapi aku bisa merasakan kedekatan hati dengan orang- orang itu.
Walau kami sangat jarang dapat melakukan pertemuan secara fisik.
Aku memiliki seorang kawan berkebangsaan India yang selalu memperkenalkan aku pada semua orang sebagai "my sis". Dan itu bahkan dilakukannya pada calon istrinya. Aku tahu itu sebab suatu hari ketika aku berkesempatan mengunjungi Delhi, aku bertemu dengan calon istrinya dan dia bercerita bagaimana kawanku itu sering menceritakan tentang aku dan dari ceritanya aku tahu bahwa kawanku itu tetap menyebutku sebagai "my sis" ketika bercerita pada calon istrinya yang juga berkebangsaan India itu.
Ada beberapa kawan lain di beberapa negara yang juga bersikap serupa itu padaku.
Tentu, bukan hanya kawan yang berbeda bangsa. Ada banyak kawan sebangsa yang sering menyebutku sebagai "adikku", atau "mbak-ku", atau sebutan lain yang menunjukkan rasa persaudaraan semacam itu ketika memperkenalkan aku pada orang lain, padahal kami sama sekali tak memiliki hubungan darah.
Dan sungguh, bagiku, semua itu kuterima sebagai penghargaan luar biasa. Cerminan rasa sayang yang sangat menghangatkan hati...
***
Kembali pada ilustrasi tentang orang berkulit hitam di awal cerita, kita semua tentu telah sering mendengar cerita mengerikan mengenai orang- orang berkulit hitam.
Padahal, inilah yang pernah kualami...
Aku pernah menerima kebaikan hati seorang supir taxi berkulit hitam.
Aku pernah menerima sapa ramah dan petunjuk tanpa diminta dari seorang penjaga karcis berkulit hitam di sebuah lapangan parkir.
Dan tak akan kulupakan bagaimana seorang polisi berkulit hitam tampak sangat ingin memastikan bahwa aku tak akan tersesat dengan memintaku mengulangi apa yang dikatakannya tentang rute ke sebuah setasiun yang kutuju (dimana aku harus turun dan berganti kereta, berapa setasiun lagi aku harus turun setelah itu) ketika pada suatu hari aku iseng ingin tahu bagaimana rasanya naik kereta bawah tanah sendirian di Atlanta dan sebab mulanya tak kutemukan gambar peta jalur kereta yang kucari, kutanyakan padanya rute menuju sebuah stasiun yang ingin kudatangi.
Banyak kawanku terperanjat ketika kuceritakan hal itu kemudian, bahwa aku bepergian sendiri dengan kereta bawah tanah yang penuh berisi orang- orang kulit hitam di Atlanta itu.
Mereka mengatakan bahwa apa yang kulakukan itu sangat berbahaya.
Kubalas saja semua itu dengan senyum. Kukatakan pada mereka bahwa persepsi tentang sifat seseorang berdasarkan warna kulit itu bisa jadi persepsi tak berdasar.
Bukan begitu cara pikirku.
Sebab aku percaya, kulit boleh hitam, tapi hati bisa saja putih…
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI