Aku menyadari begitu rapatnya orang di sekitar itu dan gelombang manusia mulai mendesak lagi. Jadi segera kubantu putriku agar dia dapat menyentuhkan tangannya ke dinding Ka’bah di Multazam itu dan kubisikkan padanya untuk berdoa dengan cepat.
Setelah putriku bisa menyentuh dinding Ka’bah di Multazam itu, baru aku sendiri menyentuhkan tanganku sendiri. Kuucapkan puja dan puji pada Sang Pemilik Hidup di Atas sana dengan air mata yang mengalir tak terbendung.
Gelombang manusia mulai mendesak kami lagi.
Aku memberi isyarat pada putriku untuk segera bergeser.
Putriku bertubuh mungil, dan walaupun dia cukup gigih dan tangguh, tapi pada dasarnya dia halus. Tak seperti aku yang dulu menghabiskan waktu berlarian di lapangan olah raga, kegemarannya menari. Putriku ballerina. Selain itu, tentu saja, dia juga bisa menarikan tarian tradisional.
Jadi, bisa kuukur kekuatannya. Tak akan kuat dia berlama- lama menahan gelombang manusia yang terus saling mendesak seperti itu.
Kami bergeser menjauh kembali dari dinding Ka’bah, dan putriku melanjutkan thawafnya.
Tetap kutemani dia sambil mengamati situasi.
Dan…
Ya Allah…
Hampir tak percaya aku dengan apa yang kulihat.