Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Catatan Perjalanan Umrah: Hujan Karunia Dari Surga... (2)

11 Maret 2012   17:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:12 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan saat itu kami membuktikan, jika Yang Kuasa berkehendak, apapun bisa terjadi…

DINI hari itu, kutemani putriku melakukan thawaf sebagai bagian dari ibadah umrah yang sedang kami lakukan. Dia perlu melakukan satu putaran thawaf lagi sebab wudhunya sempat batal sebelumnya.

Aku sendiri telah menyelesaikan tujuh putaran thawafku ketika itu.

Kulangkahkan kaki disamping putriku. Kuperhatikan situasi.

Dan entah bagaimana, muncul begitu saja dalam pikiranku bahwa jika kami berusaha mendekati Ka’bah, mungkin bisa juga kami mencium Hajar Aswad, batu hitam yang terletak di pojok sebelah Timur Ka’bah (no. 1 dalam gambar )

Kukatakan hal tersebut pada putriku.

Dia setuju dan karenanya kami mencoba.

Terus terang aku sendiri tak tahu mengapa kuajak putriku melaukan hal tersebut. Sebab sebetulnya kusadari bahwa dengan begitu banyaknya orang yang ada di sana saat itu, tak akan mudah mendekati Ka’bah, apalagi mencium Hajar Azwad.

Tapi kami tetap mencoba.

Kami dekati Ka’bah. Dan makin mendekat ke Ka’bah, makin terasa betapa sulitnya bahkan sekedar untuk merapat mendekati dinding Ka’bah saja. Sebab orang- orang yang ada di sana ( kebanyakan lelaki, banyak juga yang berbadan besar ) juga saling berebut dan tak dapat dihindari, saling dorong untuk dapat mendekat.

Tapi kami bisa juga menembus barisan rapat itu dan kini ada di sisi dinding Ka’bah.

Kami berusaha bergeser mendekati Hajar Azwad tapi gelombang manusia yang begitu banyak membuat kami terdorong menjauh dari Hajar Azwad yang kami tuju itu.

Kami terdorong dan tergeser, lalu pada suatu saat dorongan itu berhenti. Kami berdiri diam. Dan saat itulah, kusadari dimana saat itu kami berada.

Kami berada sangat dekat dengan Ka’bah ketika itu, lalu…

Oh.

Kutoleh putriku dengan emosi yang meluap ketika aku telah benar- benar menyadari apa yang terjadi, dimana kami saat itu berdiri.

Ini Multazam!

Multazam merupakan dinding Ka’bah yang terletak di antara Hajar Aswad dengan pintu Ka’bah. Tempat in merupakan tempat utama dalam berdoa, sebab ada riwayat yang mengatakan bahwa doa yang dilakukan disini akan selalu terkabul.

Dengan takjub kusadari bahwa tanpa sengaja, sebab terdorong tadi, kami ada di situ. Di Multazam!

Ya Allah...

Air mataku mulai bercucuran.

Aku menyadari begitu rapatnya orang di sekitar itu dan gelombang manusia mulai mendesak lagi. Jadi segera kubantu putriku agar dia dapat menyentuhkan tangannya ke dinding Ka’bah di Multazam itu dan kubisikkan padanya untuk berdoa dengan cepat.

Setelah putriku bisa menyentuh dinding Ka’bah di Multazam itu, baru aku sendiri menyentuhkan tanganku sendiri. Kuucapkan puja dan puji pada Sang Pemilik Hidup di Atas sana dengan air mata yang mengalir tak terbendung.

Gelombang manusia mulai mendesak kami lagi.

Aku memberi isyarat pada putriku untuk segera bergeser.

Putriku bertubuh mungil, dan walaupun dia cukup gigih dan tangguh, tapi pada dasarnya dia halus. Tak seperti aku yang dulu menghabiskan waktu berlarian di lapangan olah raga, kegemarannya menari. Putriku ballerina. Selain itu, tentu saja, dia juga bisa menarikan tarian tradisional.

Jadi, bisa kuukur kekuatannya. Tak akan kuat dia berlama- lama menahan gelombang manusia yang terus saling mendesak seperti itu.

Kami bergeser menjauh kembali dari dinding Ka’bah, dan putriku melanjutkan thawafnya.

Tetap kutemani dia sambil mengamati situasi.

Dan…

Ya Allah…

Hampir tak percaya aku dengan apa yang kulihat.

Seperti yang kuceritakan sebelumnya, saat itu adalah saat dimana putriku melakukan umrah kedua kalinya selama kami berada di Mekah, sementara bagiku sendiri, itu adalah umrah yang ketiga. Sebab aku bersama beberapa kawan serombongan menambahkan satu kali umroh lagi diantara dua yang telah terjadwal.

Umroh keduaku dilakukan sehari sebelum umroh yang ketiga itu. Dan saat umroh kedua itulah sebenarnya aku telah – dengan susah payah – menyentuh Ka’bah, di bagian Sudut Yaman, di bagian Selatan-Barat Ka’bah (no. 9 dalam gambar).

13314880251857626127
13314880251857626127

Ketika itu, bahkan sekedar untuk menyentuhkan jemari disana saja, kami harus mencobanya berulang- ulang. Gagal dalam satu putaran thawaf untuk menyentuh, kami ulangi lagi mencoba pada putaran thawaf berikutnya. Dan entah pada putaran keberapa ketika akhirnya aku berhasil sekedar menyentuhkan ujung jemariku disana. Itupun sebab sulit sekali melakukannya, adikku membantuku dengan memegang tanganku dan menyentuhkan jari- jariku.

Yang terjadi ketika kutemani putriku thawaf dini hari itu, sudut itu cukup lengang untuk bisa menyentuh bagian tersebut dengan leluasa.

Satu putaran thawaf dan kami bisa berdoa di Multazam tepat di sisi Ka’bah, menyentuh bagian tersebut dan lalu menyentuh bagian Ka’bah lain di Sudut Yaman, bagiku sudah merupakan karunia sangat besar.

Kami terus melangkah setelah sejenak berhenti di Sudut Yaman itu.

Dengan segera, tampak sekali begitu banyak manusia berjubel di satu sudut di depan kami.

Sudut dimana tempat batu hitam, Hajar Azwad itu berada.

Kuminta putriku berjalan di depanku.

Jika hanya salah satu dari kami yang nanti bisa mencium Hajar Azwad itu, pikirku, biarlah itu putriku. Aku sudah akan sangat bahagia jika dia bisa melakukannya. Tak perlu aku.

Aku berjalan merapat dibelakangnya, menjaga dia.

Sungguh, tak ada kata- kata yang akan dapat mengungkapkan perasaanku saat itu. Dan terlalu sulit untuk bisa menuliskan momen itu secara rinci, sebenarnya.

Begitu banyak orang disana. Kebanyakan laki- laki. Saling mendorong, saling mendesak. Yang posisinya tak memungkinkan untuk menciumpun tetap berusaha mendekat sekedar untuk dapat menyentuh bagian tersebut.

Kami berjalan lurus menuju tempat itu.

Tapi gelombang manusia menyerbu lagi.

Aku terdesak mundur, namun entah bagaimana, putriku tidak.

Beberapa langkah di depanku, kulihat putriku telah berdiri tepat di sudut dimana Hajar Azwad itu berada. Dia tampak tertegun.

Kupanggil namanya dan kukatakan agar dia menyegerakan mencium Hajar Azwad itu.

Kukatakan padanya, “ Cium cepat lalu mundur… cepat... “

Gelombang manusia makin mendesak. Aku khawatir dia tak akan kuat terlalu lama menahan desakan manusia yang begitu banyak.

Dan ah… kulihat dia membungkuk mencium bingkai perak Hajar Azwad lalu segera mundur ke tempat yang lapang.

1331488294601418161
1331488294601418161

Aku sendiri makin terdesak dan terjatuh bertumpu pada lututku.

Untuk bangun sajapun setelah terjatuh itu sebenarnya agak sulit karena begitu banyaknya orang.

Gelombang itu mendesak lagi.. dan lagi..

Sudahlah. Sebab gelombang itu makin mendesak, tak lagi kupikirkan apakah aku akan bisa mencium Hajar Azwad atau tidak. Aku rela jika aku sendiri tak bisa melakukan hal tersebut saat itu. Tak apa, pikirku. Jika bukan rejekiku untuk bisa menciumnya saat itu, tak apa.

Yang lebih kupikirkan saat itu adalah keselamatan putriku dan aku sendiri.

Kulihat putriku telah mundur menjauh dan berdiri di tempat yang aman.

Kutoleh sekali lagi Hajar Azwad yang masih berjarak beberapa langkah di depanku.

Entah mengapa, walau aku telah merelakan jika tak tercapai niatku untuk mencium Hajar Azwad, dan sebetulnya aku telah mulai bergeser tapi sebenarnya aku tak betul- betul menjauh dari situ.

Dan, begitulah...

Subhanallah…

Saat itulah ternyata jalan terbuka.

Kucoba sekali lagi mendekat. Dan aku bisa. Aku bisa mendekat ke Hajar Azwad, dan... bisa menciumnya !

Kembali air mataku bercucuran.

Sedetik saja aku mencium dan segera aku mundur menjauh.

Di depanku manusia kembali merapat, sangat penuh.

Kami berjalan lagi. Putriku menyelesaikan thawafnya.

***

Air mataku masih terus bercucuran...

Kutatap Ka’bah. Kutatap langit di atas kami.

Kuucapkan rasa syukurku.

Kuucapkan puja dan puji berulang kali.

Aku menyadari bahwa apa yang kami alami adalah karunia besar. Bayangkan, dalam satu putaran thawaf saja kami bisa melakukan apa yang menjadi impian banyak orang, berdoa di Multazam, menyentuh bagian- bagian Ka’bah di Multazam dan Sudut Yaman, dan… mencium Hajar Azwad.

Jika bukan karena kehendak dan kebesaranNya, tak mungkin kami dapat melakukan hal tersebut saat itu. Tapi... apa yang tak mungkin bagi Dia Yang Maha Kuasa?

Sungguh Maha Besar Allah dan betapa nikmat karunia yang dilimpahkanNya pada kami...

** gambar diambil dari Wikipedia dan www.leadership.ng **

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun