Anakku mengangguk. Deal.
Sejak hari itu, dia menikmati 'kebebasan'-nya. Kukatakan padanya dia boleh belajar jam berapa saja, sepanjang jumlah jam-nya (30 menit saja sehari yang kuminta ketika itu) dipenuhi. Juga dia boleh menghabiskan 30 menit tersebut sekaligus atau memecahnya menjadi beberapa bagian. Terserah.
Cara itu berhasil baik padanya. Nilai- nilainya bukan hanya tetap bagus, tapi semakin bagus. Dia menikmati cara belajar seperti itu dan... kami orang tuanya sebetulnya juga senang, ha ha, sebab dia mandiri seperti itu.
Tentang cara belajar seperti itu, pada suatu hari aku merasa menjadi ibu yang paling bahagia dan bangga di dunia ketika kubaca sebuah essay yang ditulis anakku saat usianya sekitar 16 tahun.
Untuk sebuah lomba, dia menulis essay tentang anak- anak yang tertekan sebab orang tuanya mengharapkan mereka berprestasi sampai pada tingkat dan dengan cara yang jika saja mereka bisa berteriak, mungkin mereka akan mengatakan "bukan itu yang aku inginkaannnn".
Sementara anakku menulis begini:
I am lucky, and I’m grateful for the fact that my parents have a belief that every child has his own particular time to shine. The time that they can reach out to their full potential when the feeling of being ready for it hits them. " I just want you to know that whatever you’re doing, or going to do, they’ll all come back to you. The result, whether it’s good or bad will only affect you, not me, not anybody else. And you should take responsibility for it, " my Mum said.
Dia juga menuliskan ini:
In fact, it really helped me enjoy studying. I can choose my ‘perfect time’. For someone that can’t help to stay still and focus—just like almost all of children in the world—have a control of when to do this or that aims to a comfortable situation which creates revolutionary ideas.
Ketika itu, membaca apa yang dia tuliskan, aku merasa mendapat hadiah bessaarrrrr sekali.
Dia katakan bahwa cara yang 'membebaskan' seperti itu membantunya menikmati proses belajar. Ah, itu sungguh sesuatu yang sangat berharga.