Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ujian Nasional: Ada Proses Jangka Panjang Dibalik Keberhasilan Anak

13 April 2014   20:46 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:43 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1397371520927377212

Ujian Nasional, apa yang dibutuhkan anak- anak?

INI pendapatku: selain penguasaan materi, juga ketenangan, dan rasa percaya diri.

Dan para orang tua bisa sangat berperan dalam hal ini.

Bukan mendadak saat anak hendak menjalani ujian saja ketenangan dan rasa percaya diri ini bisa disuntikkan pada anak- anak. Ini proses jangka panjang yang perlu ditumbuhkan sepanjang masa sekolah anak- anak itu.

Sebab anak kan tidak bisa dididik mendadak, dikarbit menjelang ujian saja. Prosesnya harus dijalani secara konsisten dari hari ke hari.

***

Sepanjang mendampingi anak- anak tumbuh besar dan bersekolah, aku sering mengamati, ada banyak orang tua yang 'lebih sekolah dari anaknya', terutama menjelang masa ujian.

Para orang tua ini ada di sekolah setiap hari, sibuk mencari berita, mencari kisi- kisi ujian, bertukar pengalaman dari para orang tua kakak kelas anaknya, sampai pada level yang menurut pendapatku sendiri 'tak berfilter'. Katanya... Katanya... Lalu jadi bingung sendiri, sebab tak tahu lagi mana berita yang bisa dipercaya mana yang tidak.

Ah, aku masih ingat masa- masa itu. Terutama ketika anakku SD. Terutama saat si sulung yang hendak ujian, sebab itu pengalaman pertama. Ibu- ibu di sekolah anakku secara bergurau menggelari aku sebagai 'ibu yang tak perduli'. Saking aku tak pernah ikut heboh seperti itu.

Kata mereka: untung anaknya pintar, nggak diurusin ibunya juga nilainya bagus terus.

Aku nyengir saja kalau ada yang nyeletuk begitu. Kutelan saja omongan itu. Tak merasa perlu harus menjelaskan. Sebab jelas, beda gaya, beda falsafah. Lebih baik memahami saja bahwa mereka melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Aku ini, tentu saja, bukannya tak perduli. Hanya mungkin caranya saja yang tak serupa.

Memandirikan anak dan mengajarkan konsekwensi.

Kujamin, cintaku pada anakku, sedalam cinta para ibu yang 'lebih sekolah dari anaknya' itu. Tapi, aku memang harus mengatur dan menjalani dengan caraku sendiri. Terutama sebab waktuku memang terbatas. Sebab aku bekerja, tak setiap menit aku bisa ada di samping mereka. Maka, anakku harus dididik untuk bisa mandiri.

Juga, fokusku pada pembentukan karakter secara jangka panjang. Bukan semata short term.

Pada hari pertama anak- anakku masuk SD, kukatakan pada mereka, kelengkapan buku dan alat tulis mereka, termasuk memastikan bahwa PR sudah dikerjakan dan buku PR itu dibawa ke sekolah adalah tanggung jawab mereka. Kuajarkan pada mereka, bagaimana cara membaca jadwal pelajaran. Memilih buku- buku yang harus dibawa.

Beberapa hari pertama, aku yang melakukan hal itu dan mereka kuminta melihat. Beberapa hari setelah itu, kuminta mereka melakukan dalam pengawasanku. Setelah itu, aku lepas.

Jika ada buku atau alat tulis yang tertinggal? Konsekwensinya harus mereka tanggung sendiri, termasuk bicara pada guru untuk meminta maaf dan jika perlu, dihukum atau dikurangi nilainya. Itu yang kuajarkan pada mereka.

Yang 'lucu', justru sebab konsekwensi seperti itu diajarkan, hampir tak pernah mereka ketinggalan ini itu. Mereka memastikan bahwa apa yang dibutuhkan sudah ada di dalam tas sejak malam hari sehingga di pagi hari mereka tak tergesa menyiapkan.

Oh tentu, tiap anak berbeda. Si sulung, amat disiplin dalam hal ini. Anak tengah, kadang- kadang malas memilah buku dan memilih untuk membawa saja semua bukunya ke sekolah. Akibatnya, tasnya menjadi berat.

Kubiarkan saja, jika itu yang dia inginkan. Biar dia belajar sendiri dari pengalaman dan memilih mana yang cocok untuk dirinya. Sampai suatu saat ketika kelas makin tinggi, anak tengahku ini tertawa- tawa sendiri sebab katanya bukunya makin banyak sehingga dia makin keberatan dan mulai hari itu hendak memilah buku saja supaya tak berat.

Si bungsu, kini bersekolah di tempat dimana dia tak harus membawa banyak buku ke sekolah sebab bahan referensinya ada di sekolah. Baik dalam bentuk buku maupun CD. Lembaran kerja juga disediakan sekolah. Begitu pula dengan alat tulis. Tapi kewajiban memasukkan apa- apa yang prelu dibawa ke sekolah sendiri tetap berlaku. Baju olah raga, bekal minum dan snack serta makan siang, dia harus masukkan sendiri ke tas dan sepulang sekolah, juga dikeluarkannya sendiri dari tas, disimpan di dapur dan di tempat baju kotor untuk dicuci.

Tidak membandingkan.

Selain kebiasaan mandiri, ada hal yang juga aku dan suamiku terapkan dalam membesarkan anak- anak.

Yakni: tidak membanding- bandingkan.

Tidak dengan anak- anak lain, tidak dengan saudara- saudaranya, tidak juga dengan kami orang tuanya.

Jika ingin mendorong mereka untuk maju, maka yang kami lihat adalah apa yang telah mereka capai dan apa yang bisa mereka raih dengan lebih baik dari apa yang dicapai itu. Intinya, semua disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan masing- masing anak.

Tak mengharuskan anak menjadi juara

Kami juga tak penah merasa perlu repot- repot mendorong anak- anak untuk menjadi juara.

Sebab menjadi juara, menurut kami adalah hasil dari sebuah proses. Jalankan saja prosesnya dengan benar, nanti hasilnya akan terlihat juga.

Ada satu hal yang perlu disadari dengan kata 'juara', yakni: siapa pesaingnya.

Anak- anakku sejak kecil bersekolah di sekolah dimana persaingan cukup ketat. Selisih nilai raport tiap anak ada di belakang koma. Maka jika hanya peringkat yang jadi ukuran, kasihan sekali anak- anak itu. Selisih nol koma satu saja peringkat bisa bergeser.

Dan ini salah satu yang menyebabkan aku secara begurau ( atau mungkin maksud mereka betulan, ya? Ha ha ha ) oleh para orang tua teman anakku disebut sebagai ibu yang nggak perdulian, ibu yang nyantai banget dsb dsb.

Sebab aku tak pernah sibuk mengurusi peringkat berapa anakku.

Dan bagiku, itu bukan artinya tak perduli.

Aku dan suamiku tetap memeriksa prestasi dan pencapaian mereka, tentu saja. Memperhatikan berapa nilai rata- rata kelas, berapa nilai minimal kelulusan.

Masalah juara, itu menjadi relatif bagi kami. Bukan sesuatu yang absolut. Maka, jikapun mereka menjadi juara, itu bonus. Bukan keharusan.

Kecuali jika mereka yang menginginkan hal itu.

Maksudnya jika mereka yang menginginkan itu bagaimana ?

Nanti ya, kutulis dalam sambungannya. Yang ini, kutayangkan dulu...

** Bagian dua dari tulisan ini ada disini: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/04/13/ujian-nasional-nyantai-aja-lagi--648646.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun