Aku ini, tentu saja, bukannya tak perduli. Hanya mungkin caranya saja yang tak serupa.
Memandirikan anak dan mengajarkan konsekwensi.
Kujamin, cintaku pada anakku, sedalam cinta para ibu yang 'lebih sekolah dari anaknya' itu. Tapi, aku memang harus mengatur dan menjalani dengan caraku sendiri. Terutama sebab waktuku memang terbatas. Sebab aku bekerja, tak setiap menit aku bisa ada di samping mereka. Maka, anakku harus dididik untuk bisa mandiri.
Juga, fokusku pada pembentukan karakter secara jangka panjang. Bukan semata short term.
Pada hari pertama anak- anakku masuk SD, kukatakan pada mereka, kelengkapan buku dan alat tulis mereka, termasuk memastikan bahwa PR sudah dikerjakan dan buku PR itu dibawa ke sekolah adalah tanggung jawab mereka. Kuajarkan pada mereka, bagaimana cara membaca jadwal pelajaran. Memilih buku- buku yang harus dibawa.
Beberapa hari pertama, aku yang melakukan hal itu dan mereka kuminta melihat. Beberapa hari setelah itu, kuminta mereka melakukan dalam pengawasanku. Setelah itu, aku lepas.
Jika ada buku atau alat tulis yang tertinggal? Konsekwensinya harus mereka tanggung sendiri, termasuk bicara pada guru untuk meminta maaf dan jika perlu, dihukum atau dikurangi nilainya. Itu yang kuajarkan pada mereka.
Yang 'lucu', justru sebab konsekwensi seperti itu diajarkan, hampir tak pernah mereka ketinggalan ini itu. Mereka memastikan bahwa apa yang dibutuhkan sudah ada di dalam tas sejak malam hari sehingga di pagi hari mereka tak tergesa menyiapkan.
Oh tentu, tiap anak berbeda. Si sulung, amat disiplin dalam hal ini. Anak tengah, kadang- kadang malas memilah buku dan memilih untuk membawa saja semua bukunya ke sekolah. Akibatnya, tasnya menjadi berat.
Kubiarkan saja, jika itu yang dia inginkan. Biar dia belajar sendiri dari pengalaman dan memilih mana yang cocok untuk dirinya. Sampai suatu saat ketika kelas makin tinggi, anak tengahku ini tertawa- tawa sendiri sebab katanya bukunya makin banyak sehingga dia makin keberatan dan mulai hari itu hendak memilah buku saja supaya tak berat.