Sekolah memang tak selalu aman.
INI kisah nyata. Kejadian di sekolah yang berujung trauma panjang. Tentang teman anak tengah, anak nomor duaku, yang kini berusia remaja dan duduk di bangku SMA saat menjadi murid Sekolah Dasar swasta berbasis agama yang terkenal di kota kami,
Mohon dicatat: murid sebuah sekolah yang terkenal.
Aku ingin menggaris bawahi hal ini karena tulisan ini dibuat sebagai refleksi diri, dan juga untuk memperingatkan agar kita semua sebagai orang tua berhati- hati. Kebanyakan dari kita, termasuk aku, memiliki persepsi bahwa lingkungan sekolah itu aman, dan sehat bagi anak- anak. Apalagi jika sekolah itu merupakan sekolah yang terkenal.
Padahal tidak. Tidak selalu begitu.
Anak bungsuku sendiri, anak nomor 3, kelak di kemudian hari, saat naik ke kelas 3 SD terpaksa kupindahkan dari sekolah ini ke sekolah lain sebab ada banyak hal tak wajar yang terjadi di sekolah yang akhirnya juga mempengaruhi mentalnya.
Ramainya berita tentang JIS akhir- akhir ini, termasuk sikap mereka yang tak koopeatif dalam menangani pelecehan seksual yang terjadi di dalam sekolah, membuatku teringat kembali kisah ini.
***
[caption id="attachment_321604" align="aligncenter" width="459" caption="Gambar mofifikasi dari gambar di www.roblox.com"][/caption]
Tidak, ini bukan tentang kejahatan seksual. Ini penyiksaan secara fisik dan mental yang terjadi di sekolah, yang menurut pendapatku sendiri, merupakan suatu puncak dari kurikulum dan kebijakan yang berganti- ganti, carut marutnya manajemen, korupsi di jajaran pendidik serta ketertutupan pihak yayasan sekolah ini yang menyebabnya merosotnya mutu sekolah secara keseluruhan.
Jadi begini, sekolah ini merupakan sekolah yang menjadi pilot sekolah yang memiliki kelas akselerasi di kota kami.
Anak sulungku, kini duduk di tingkat dua di Peguruan Tinggi, merupakan angkatan awal murid- murid yang masuk kelas akselerasi. Dia menyelesaikan Sekolah Dasarnya dalam waktu lima tahun. Kurikulumnya pada waktu itu adalah pada tahun kelima, pelajaran kelas 5 SD dipadatkan dan beberapa bulan terakhir anak- anak di kelas tersebut memperoleh pelajaran kelas 6 SD. Lalu mereka ujian bersama- sama murid kelas 6.
***
Banyak orang tua yang menyekolahkan anak dari anak sulung hingga yang bungsu di sekolah tersebut. Anak sulungku kebetulan bersahabat dengan beberapa anak lain yang juga anak sulung yang kebetulan memiliki adik yang seusia pula, yang saat mereka duduk di kelas 5 SD itu para adik tersebut duduk di kelas 2 SD.
Maka, melihat kakak- kakaknya masuk kelas akselerasi, para adik juga terdorong memiliki keinginan untuk masuk kelas akselerasi .
Nah bagi murid di angkatan di bawah anak sulungku, metodenya berbeda. Bukan kelas 5 dan 6 yang digabungkan menjadi satu, tetapi kelas 3, 4 dan 5 yang seharusnya dihabiskan dalam tiga tahun lalu dipadatkan menjadi dua tahun. Kelas 6 akan menjadi setahun penuh. Para murid bisa masuk ke kelas akselerasi semenjak kelas 3 atau 4.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Singkat cerita, kurikulum berubah. Di angkatan para adik ini, kelas akselerasi tidak lagi bisa dimasuki dari kelas 3 atau 4 tetapi hanya dari kelas 3. Dan salah satu dari para adik ini kebetulan tidak lolos saringan masuk kelas akselerasi di kelas 3 lalu kemudian kesempatan tertutup untuk bisa masuk kelas akselerasi di kelas 4.
Saat itu kebijakan sekolah memang hanya mengijinkan anak- anak dengan ranking 1-6 di kelas untuk disaring kembali melalui test psikologi untuk masuk kelas akselerasi. Anak- anak di ranking di bawahnya tidak mendapat kesempatan untuk ikut test, kecuali ada rekomendasi khusus dari guru kelasnya yang melihat potensi murid di bawah rangking itu untuk mengikuti test.
Padahal, kita tahu, kadang- kadang kecemerlangan anak belum muncul di kelas- kelas awal seperti kelas 1 dan kelas 2 SD itu. Banyak anak cemerlang belum keluar secara optimal potensinya dan banyak anak ( memang tidak semua, tapi banyak ) yang ada di rangking- rangking atas di kelas yang sebetulnya merupakan anak yang semata mendapat nilai bagus sebab dipaksa belajar dengan jumlah jam yang sangat tidak wajar dan mengulang- ulang pelajaran sampai 'hafal luar kepala' oleh orang tuanya.
Tapi, itulah kebijakannya. Yang berujung pada salah seorang anak lelaki bernama JB, adik dari sekelompok kakak- kakak yang berteman baik tidak bisa masuk kelas akselerasi. JB sangat kecewa karena kebetulan adik- adik yang lain ( termasuk anak tengahku, anak nomor dua yang sekarang sudah SMA itu ) yang juga merupakan kawan- kawan mainnya bisa masuk kelas akselerasi seperti kakak- kakaknya.
Orang tuanya sempat mencari jalan dengan dua cara. Di satu pihak membujuk JB dengan mengatakan bahwa tak mengapa tak masuk kelas akselerasi sekalipun, tetapi di pihak lain, sang orang tua juga mengirimkan anak tersebut untuk ditest oleh psikolog untuk melihat potensinya, lalu juga bernegosiasi dengan pihak sekolah apakah jika menurut psikolog anak itu mampu masuk kelas akselerasi dan dalam satu tahun ke depan saat kelas 3 SD prestasinya bisa naik tinggi, sekolah bisa memberi kebijakan agar JB bisa masuk ke kelas akselerasi saat kelas 4.
Pihak sekolah dan yayasan menjanjikan, bisa.
***
Hasil test psikologi diperoleh. Tak ada keraguan, secara kemampuan intelektual, JB bisa masuk kelas akselerasi.
Maka sang orang tua memotivasi JB untuk makin giat belajar di kelas 3 tersebut demi mencapai prestasi akademik yang memungkinkan dia untuk masuk ke kelas akselerasi di tahun ajaran yang akan datang saat duduk di kelas 4 SD.
JB, juga semangat. Selama setahun selama duduk di kelas 3 dia berusaha keras untuk rajin belajar, mencapai prestasi cemerlang, menanti kenaikan ke kelas 4 agar dia bisa bergabung dengan kelas akselerasi. Hanya untuk kemudian sangat kecewa sebab pihak sekolah dan yayasan lalu mengingkari janji.
Dia seperti dilambungkan lalu dihempaskan begitu saja.
Sebab ketika JB naik ke kelas 4, lepas dari hasil test psikologi dan kemampuan akademiknya yang baik, sekolah tak lagi  bersedia memasukkan anak ini ke kelas akselerasi dengan alasan kebijakan sekolah sudah berganti. Tak perduli bahwa setahun sebelumnya mereka menjanjikan bahwa kesempatan bisa diberikan.
JB terpukul luar biasa. Marah sebab merasa sekolah tak menepati janji dan merasa usahanya sia- sia.
Dia menjadi pemberontak serta pembangkang. Sering sekali melawan guru untuk beragam hal. Itu berjalan bertahun- tahun sampai suatu ketika waktu dia duduk di kelas 5 SD, dia memprotes guru komputer yang entah kenapa menghentikan pelajaran sebelum waktu pelajaran berakhir sementara JB masih asyik dengan komputernya.
Alih- alih menangani protesnya dengan baik, Bapak guru itu naik darah dan lalu dengan kemarahan dan emosi tinggi mengangkat badan JB kemudian, membantingnya !
Secara harfiah benar- benar membanting tubuh anak kelas 5 SD ini ke lantai. Bayangkan !
Dan itu terjadi di sekolah swasta berbasis agama yang terkenal. Sekolah dimana banyak orang tua di awal tahun ajaran bersedia mengantri sekedar untuk bisa mendapatkan formulir pendaftaran.
JB benar- benar tercederai secara fisik dan mental di sekolah itu. Sudahlah kecewa karena tak bisa masuk kelas akselerasi dan sekolah mengabaikan saja janjinya lepas dari semua usaha yang telah dia lakukan, kemudian setelah itu dia dianiaya secara fisik pula.
Apakah saat kejadian itu sekolahnya menganggapi dengan baik?
Tidak.
Pihak sekolah dan yayasan berusaha menutupi kejadian tersebut.
Itu semua lalu menjadi awal tahun- tahun sulit dan traumatis bagi si kecil JB. Trauma yang terbawa hingga masa remaja dan ketika dia bersekolah di sekolah lanjutan.
JIS bukan sekolah pertama yang melepaskan diri dari kewajiban melindungi murid. Diluar yang kita tahu sebab luput dari pemberitaan, sebetulnya memang banyak sekolah terkenal yang lebih mementingkan membungkus diri demi reputasi (semu) daripada melindungi murid didiknya. Kita para orang tua, sungguh harus waspada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H