Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Waspadalah di Musim Mudik: Asisten Rumah Tanggaku Ditipu dan Kehilangan Semua Uang dan Perhiasannya

20 Juli 2014   00:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:51 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Calon penumpang kereta menunggu di Stasiun Senen, Jakarta Pusat, Selasa (6/8/2013). Calon penumpang di stasiun ini kerap datang terlalu awal sehingga harus menunggu lama di stasiun. (KOMPAS.com/ALSADAD RUDI)

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - Calon penumpang kereta menunggu di Stasiun Senen, Jakarta Pusat, Selasa (6/8/2013). Calon penumpang di stasiun ini kerap datang terlalu awal sehingga harus menunggu lama di stasiun. (KOMPAS.com/ALSADAD RUDI)"][/caption]

Para pemudik, berhati- hatilah...

" HAH? Rampok? Rampok di mana?"

Terdengar suara berisik di ujung telepon sebelah sana. Suara- suara riuh tapi tak jelas apa yang dikatakan. Lalu disusul suara tangis, lalu kalimat terputus-putus.

"Iyaaaa.. Saya dirampok. Di Surabaya. Huhuhuhuhu...."

Tangis lagi.

Jantungku berdetak kencang.

***

Telepon genggamku berdering siang kemarin. Dari nomor yang tertera di layar, kutahu siapa yang menghubungi.

Asisten rumah tanggaku, yang sehari sebelumnya baru saja kuantar ke stasiun kereta api.

Ada dua orang yang sehari-hari membantu kami di rumah. Yang satu, mudik. Yang satu lagi tidak mudik dan tetap akan ada di rumah kami saat lebaran nanti.

Sulit mendapatkan karcis kereta ke Jawa Timur di hari-hari dekat lebaran, maka tiga bulan yang lalu, saat pemesanan karcis sudah mulai dibuka, kami memesankannya karcis bertanggal 17 Juli.

Duh, aku prihatin betul.

Saat melihat namanya di layar teleponku, padahal, aku sudah gembira. Sebab kuduga itu adalah telepon yang mengabarkan bahwa dia sudah tiba di rumahnya dengan selamat. Tapi ternyata isi beritanya bukan hal menggembirakan.

" Apa yang diambil, Mbak?"

" Semua...," katanya. "Semuaaa... Huhuhuhuhu," dia menangis keras.

Lalu setelah suara tangis itu dia meneruskan lagi, "Uang, kalung, anting saya habis...."

Aduh!

" Terus gimana dong?" tanyaku, "Gimana caranya naik bus nanti dari Surabaya kalau uangnya habis?"

Saat itu yang terpikir olehku adalah bagaimana caranya dia bisa selamat sampai di rumahnya dulu. Rumahnya bukan di Surabaya, tapi di kota lain, yang masih berjarak beberapa jam dari Surabaya. Perjalanan mudiknya memang seharusnya naik kereta sampai Surabaya, lalu dari Surabaya disambung bus hingga ke kota asalnya.

"Ini saya sudah di rumah," jawabnya di antara tangisnya, "Tadi masih ada uang dua ratus ribu di dompet saya, jadi saya bisa pulang."

Oh, baiklah. Paling sedikit, dia sudah di rumah. Kalau tidak, jika tak ada uang sama sekali, dia kan bisa keleleran tidak karuan di Surabaya.

Aku mencoba bertanya apa yang terjadi, tapi ceritanya tidak jelas, jadi akhirnya kukatakan padanya aku akan menelepon lagi nanti malam setelah dia tenang.

***

[caption id="attachment_334305" align="aligncenter" width="327" caption="Gambar: Wikipedia"]

14057689881702896464
14057689881702896464
[/caption]

Malamnya, kuhubungi lagi si mbak kutanya ceritanya.

Kubagi di sini, agar teman- teman yang hendak mudik, atau yang asisten rumah tangganya hendak mudik, bisa lebih berhati-hati.

Extra hati-hati, maksudnya. Atau extra extra extra hati-hati.

Sebab si mbak ini juga sebetulnya sudah aku wanti-wanti untuk berhati-hati.

Saat mengantarkannya ke stasiun sehari sebelumnya, kupastikan bahwa makanan dan minuman bekalnya kubeli sendiri. Baik nasi kotak untuk buka puasa, bekal untuk sahur, camilan dan air minumnya, aku sendiri yang membelikan.

Kuberikan padanya dengan pesan untuk tak menerima tawaran apa pun dari orang asing. Tidak makanan, tidak minuman. Kuwanti-wanti untuk menjaga barang bawaannya, menaruh telepon genggam di tempat yang aman, juga memastikan bahwa karcis dan KTP-nya tak terselip.

Ini bukan pengalaman pertamanya pulang mudik sendiri. Rute yang sama dengan kendaraan serupa sudah pernah dipergunakannya berulang kali.

Tapi ternyata terjadi juga peristiwa itu.

Malam harinya, ketika kutelepon, dia sudah lebih tenang dan ceritanya lebih bisa ditangkap.

Jadi dia itu bukan dirampok, tepatnya. Tapi ditipu.

Turun dari kereta api di stasiun Pasar Turi, dia hendak menuju Terminal Bus Bungurasih. Rupanya di situ dia sudah diikuti. Diajak mengobrol, ditanya ke mana tujuannya.

Yang lalu dijawabnya.

Orang yang mengajaknya bicara, perempuan juga, mengatakan bahwa tujuan mereka sama, sebab dia sendiri pun hendak menuju ke arah sana. Katanya, dia tinggal di tempat yang tak jauh dari tempat tinggal asisten rumah tanggaku itu.

Lalu dia mengajak si mbak asisten rumah tanggaku itu untuk pulang bersama-sama saja.

Bersama si perempuan itu, ada seorang lelaki yang diakui sebagai keponakan. Mereka lalu masuk ke mobil yang dikemudikan lelaki tersebut, yang pada suatu saat dihentikan di tengah jalan dengan alasan si supir perlu mampir untuk membeli bekal minum.

Jadi, asisten rumah tanggaku itu berdua ada di mobil dengan si perempuan yang mengaku-ngaku berasal dari kota yang sama itu.

Di situlah drama penipuan berlanjut. Ketika mobil berhenti, seseorang mengetuk-ngetuk jendela mobil. Menyapa dengan salam, Assalamu'alaikum, dan percakapan terjadi antara perempuan pertama yang ada di mobil dengan orang yang mengetuk jendela -- juga perempuan yang disapa dengan sebutan 'Bu Haji' oleh perempuan di mobil.

Pendek cerita, dongeng disampaikan, bahwa 'Bu Haji' itu baru saja pulang dari Malaysia dan dirampok hingga uangnya habis semua. Lalu perempuan pertama di mobil mengeluarkan gepokan uang (yang disebut berjumlah sepuluh juta rupiah). Si supir, lelaki, yang juga sudah kembali ke mobil, mengeluarkan uang, konon, lima juta rupiah. Mereka katanya hendak meminjamkan uang itu pada 'Bu Haji' yang baru saja kerampokan, dan membujuk asisten rumah tanggaku untuk turut membantu.

Dijanjikan oleh mereka bahwa nanti semua yang diberikan akan dikembalikan, asisten rumah tanggaku itu akan dihubungi melalui telepon. Maka dia memberikan nomor telepon genggamnya.

Mereka bahkan menunjukkan benda-benda berupa perhiasan yang tampak seperti berlian dan mengatakan pada asisten rumah tanggaku bahwa jika dia mau, uang, kalung dan antingnya akan diganti dengan perhiasan serupa itu. Tapi asisten rumah tanggaku itu menolak. Dia mengatakan jika mengembalikan, kembalikan dalam bentuk yang sama yakni uang sejumlah yang sama, kalung, dan anting.

Begitulah. Jadi, tak ada kekerasan atau todongan senjata yang dilakukan. Semua dilakukan dengan pembicaraan dan mulut manis. Dan si mbak asisten rumah tanggaku itu memberikan begitu saja semua yang dimilikinya. Baik tabungan uang gaji maupun uang THR yang kuberikan menjelang kepulangannya, juga kalung dan antingnya.

Dan setelah semua barang berharganya diserahkan, dia sendiri diturunkan di tengah jalan.

Prihatin, betul.

***

Kutuliskan cerita ini, sebagai peringatan. Agar semua waspada. Di musim mudik begini, ada- ada saja yang terjadi.

Barangkali, jika bisa, walaupun ini di luar kebiasaan sebab setahuku mereka memang terbiasa dengan uang tunai, untuk para asisten rumah tangga yang hendak mudik, bisa juga dibujuk untuk tak membawa uang tunai dan uang miliknya dikirimkan saja melalui weselpos ketika mereka telah sampai di kota asalnya.

Weselpos masa kini cepat sampainya dan tak rumit pengurusannya. Beberapa kali ketika mereka memiliki keperluan mengirimkan sesuatu pada keluarga di kota asalnya, kami membantu mengirimkan uang melalui kantor pos dengan wesel itu. Ada metode di mana saat mengirimkan uang, oleh kantor pos kami diberi semacam PIN. Lalu nomor telepon genggam si penerima dicatatkan di kantor pos.

Pada saat itu juga, setelah transaksi di kantor pos tempat kami mengirim uang selesai, uang bisa diambil di tempat tujuan. Si penerima tinggal datang ke kantor pos, membawa KTP, telepon genggam yang nomornya didaftarkan sebelumnya, dan informasi nomor PIN (yang akan ditanyakan oleh petugas kantor pos di kantor tujuan padanya). Jika semua cocok, uang langsung diberikan.

Aku agak menyesal, mengapa cara pengiriman melalui weselpos ini tak kutawarkan pada asisten rumah tangga yang hendak pulang kemarin itu. Tak tepikir, mulanya. Tapi, semua sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur.

Mari waspada. Semoga kita semua dilindungi dan diberi keselamatan selama musim mudik lebaran ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun