Ya benar, terpotong- potong.
Waktuku untuk menulis selama di Tanah Suci terbatas. Walau ide berlimpah, seringkali aku hanya bisa menulis satu dua paragraf saja.
Satu dua paragraf yang secara spontan aku tuliskan di email dan aku kirimkan pada Fary.
Satu tulisan utuh yang muncul di Kompasiana dan lalu ditayangkan itu, bisa jadi sebetulnya itu kumpulan dari lima, enam, tujuh, delapan atau mungkin lebih email berisi teks dan gambar- gambar yang aku kirimkan pada Fary.
Aku bahkan tak sempat membaca ulang atau mengedit tulisanku. Jadi apa yang aku kirimkan pada Fary itu teks yang masih ada typo error, atau urutannya mungkin masih agak kurang enak dibaca.
Tapi kami sudah bersahabat cukup lama untuk aku bisa mempercayai bahwa dia akan melakukan apa yang perlu dilakukan. Aku tahu bahwa dia tak akan meloloskan tulisan itu tanpa standar minimal tertentu yang kami anggap layak.
Foto- fotopun aku kirimkan padanya, dengan pesan: silahkan dipilih mana yang cukup baik dan sesuai untuk melengkapi tulisan yang akan ditayangkan.
Jadi...
Itulah semua jawabannya bagaimana cara tulisan- tulisan tersebut bisa dipublikasikan.
Dan itulah juga jawabannya mengapa tulisan- tulisanku bisa ditayangkan tapi aku tidak bisa segera membalas komentar. Sebab aku memang tidak menulis di laptop. Aku menulis di telepon genggam. Fungsi membalas komentar melalui telepon genggam di Kompasiana masih belum berfungsi baik.
Fary sebetulnya menawarkan agar aku menuliskan balasanku di email dan nanti dia akan membantu mengcopy paste jawabanku. Tadinya akan kuturuti sarannya, tapi batal. Selain karena keterbatasan waktu, juga aku koq merasa membalas komentar seperti itu tidak lagi terasa spontan. Lebih enak membalas langsung saja.