Antara jodoh, dan poligami.
ADA suatu masa, dulu.. saat aku gadis dulu dimana aku malah 'tenang- tenang aja' urusan poligami ini. Padahal, saat itu aku justru sedang mencari suami. Menyaring siapa- siapa saja di lingkaran pergaulanku yang bisa dimasukkan dalam short list, daftar tentang lelaki yang bisa dipilih, yang potensial untuk menjadi suami yang baik.
Ya, yang baik.
Kala itu, dengan pemikiran sederhanaku, kata 'baik' itu berarti luas. Kata tersebut mencakup pula kata setia di dalamnya. Juga, tidak genit. Artinya, ujung- ujungnya, nggak ada tuh kepikiran urusan poligami- poligamian segala.
Mungkin lingkungan dimana aku tumbuh, dibesarkan, sejak kecil, remaja hingga dewasa juga berpengaruh.
Ayahku, figur lelaki yang tentu saja sangat mempengaruhi pola pikirku, tak pernah mencederai hati ibu maupun kami anak- anaknya dengan urusan macam itu. Di keluarga besar, tak pula kutemui kasus serupa.
Pun, dari sisi perempuan, tak banyak orang yang berpoligami atau memiliki pola pikir 'jadi istri kedua juga nggak papa' yang aku kenal. Tidak di lingkungan pertemanan, apalagi di keluarga.
Maka, urusan ini bahkan tidak menjadi topik yang aku diskusikan dengan (calon) suami sebelum kami menikah. Sejak awal mengenalnya, kutahu dia orang baik. Aku jatuh cinta padanya, dan kami menikah, tanpa aku ribet memikirkan urusan poligami.
Dia memang orang baik. Terbukti dengan perjalanan tahun- tahun kami bersama membangun rumah tangga. Dan pembicaraan tentang poligami itu, tetap tak muncul sebagai topik diskusi kami.
Sampai suatu hari, dimana rupanya pikiran naifku bahwa melirik- lirik perempuan lain lalu memiliki istri kedua itu cuma akan dilakukan oleh orang- orang yang 'nggak baik', dimana kesediaan menjadi istri kedua juga cuma akan dilakukan oleh perempuan- perempuan yang modelnya 'ya gitu deehhh' mulai terusik.
Ada suatu masa dimana mulai banyak kejadian dimana aku mendengar cerita atau membaca berita tentang si ini dan si itu yang berpoligami. Dalam hal ini, pinggirkan urusannya jika itu menyangkut para selebritis, bintang film, penyanyi atau semacamnya yang memang sejak dulu sudah diketahui, banyak yang rumah tangganya bergejolak.
Itu nggak masuk hitungan. Bukan itu yang kumaksud.
Yang kumaksud adalah, poligami ini 'dikampanyekan' , dan dilakukan, oleh orang- orang yang dihitung sebagai 'orang saleh', 'orang taat beribadah', yang bahkan sering bicara di muka umum memberikan ceramah keagamaan.
Waduh.
Alarm mulai berbunyi di kepalaku.
Bukan, bukan tentang aku. Alarm itu berbunyi tidak semata tentang aku (dan suamiku).
Sebab walau tadinya tak pernah bertanya, pada suatu hari, sekian tahun setelah pernikahan kami, ketika urusan poligami seperti yang kuceritakan di atas ini mulai santer menjadi bahan berita, tanpa bertanya aku malah mendapatkan jawaban atas apa yang dipikirkan suamiku tentang poligami.
Suamiku sedang membaca majalah, saat itu, dan sambil lalu dia mengomentari berita yang dibaca yang ada kaitannya dengan poligami. Intinya, dia mengatakan, bahwa walaupun benar poligami itu diijinkan, ijin itu tidak bisa dibaca separo- separo. Lihat dulu syarat 'bisa adil' yang merupakan satu kesatuan dengan dibolehkannya poligami itu dan juga contoh yang dilakukan Rasulullah dulu.
" Rasulullah itu tidak berpoligami saat istri pertamanya masih hidup, " kata suamiku. " Rasulullah menjaga pernikahan dengan satu istri sampai istri pertamanya meninggal dunia. Dan setelah itu, Rasulullah memang berpoligami. Tapi tujuannya kan membantu. Yang dinikahi itu janda- janda perang. "
Hanya itu kalimat yang dikatakan suamiku, lalu dia asyik membaca majalah lagi.
Tapi bagiku, itu sudah cukup. Kupahami apa yang dimaksudkannya, dan kudapati bahwa pemikirannya sesuai dengan pemikiranku. Itu sebabnya kukatakan bahwa 'kampanye tentang poligami' menyalakan alarm, tapi tak semata tentang aku.
[caption id="attachment_349727" align="aligncenter" width="668" caption="Gambar: becuo.com"][/caption]
Alarm itu berbunyi, dan aku menjadi prihatin dan gemas karena secara umum dan luas kampanye tersebut akan mempengaruhi banyak perempuan, baik yang sudah menikah ataupun belum menikah. Baik yang dewasa atau gadis remaja. Dan sejujurnya, menurutku, ada bagian dari kampanye itu yang mengabaikan logika serta perasaan perempuan.
Seperti misalnya sering dikatakan bahwa ada satu pintu surga yang khusus disediakan bagi istri yang ikhlas dipoligami.
Secara bergurau, jika mendengar hal ini, aku menjawab begini, " Kalau gitu, aku nanti masuk lewat pintu surga yang lain aja deh. "
Kadang- kadang, kalau sudah gemas sekali, kutambahkan kalimat itu dengan, " Pintu yang diceritain itu khusus buat istri- istri yang bersedia mengijinkan suaminya menikah lagi ya? Artinya, dia akan masuk ke situ sendirian, nggak bareng suaminya ? "
Kalimat nyeleneh itu biasanya kusambung lagi begini, " Terus kalau suaminya misalnya masuk surga juga, berarti suaminya akan masuk lewat pintu lain? Sama siapa masuknya? Jangan- jangan istri pertama yang saleh itu masuk surga lewat pintu khusus tersebut, lalu suaminya masuk lewat pintu lain, barengan masuknya sama istri kedua ? Waduh ! "
Jawabanku, kalimat yang sering kukatakan sambil nyengir- nyengir nggak jelas itu, memang rada ngawur. Tapi itu mencerminkan pikiranku. Sebab menurutku, jika urusan poligami itu lalu direduksi faham mendasarnya, didangkalkan semata untuk menjustifikasi dan melegalkan keinginan (sebagian) lelaki untuk menikah lagi, kemudian beban dan tekanannya diberikan pada istri pertama, jawaban yang bisa diberikan memang cuma jawaban 'semaunya' yang diberikan sambil nyengir- nyengir nggak jelas seperti yang kukatakan itu.
Enak aja, suami nikah lagi koq tekanan dan bebannya diberikan pada istri pertama.
Ya benar, menurutku itu tekanan. Dengan bicara bahwa perempuan saleh adalah perempuan yang mengijinkan suami menikah lagi, jika dipandang hitam putih, perempuan yang tak bersedia dimadu, tak mau ada poligami terjadi dalam hidup pernikahannya, itu tidak saleh.
Dengan mengatakan ada pintu surga khusus untuk perempuan yang mengijinkan suaminya menikah lagi, perempuan lalu 'dilepas sendiri'. Dipaksa untuk bersedia sakit hati, agar masuk surga. Nah lho. Terus suaminya kemana? Bukankan ada kewajiban suami untuk menjaga kebaikan dalam rumah tangganya, membimbing istri dan anak- anaknya, agar masuk surga bersama- sama?
Iya, bersama- sama.
Bukan istri pertama dibiarkan mencari jalannya sendiri yang penuh darah dan air mata lalu suami masuk surga gandengan dengan istri kedua, misalnya. He he he.
***
Aduh, tulisan ini dibikin buat apa sih sebetulnya?
Sabar, sebentar. Tulisan ini prolog.
Ada satu hal yang berputar- putar di kepalaku belakangan ini, tentang urusan poligami.
Bukan, bukan semata tentang gurauan pedagang kurma di Madinah atau penjual sajadah di Mekah yang kuceritakan dalam tulisanku sebelumnya.
Ada hal lain yang lebih serius, dan memaksaku memikirkan urusan poligami ini. Membuatku mau tak mau harus meletakkan satu persatu semua keping cerita itu. Mundur sejenak untuk mencocokkan keping- keping itu dengan pemikiran, nilai- nilai dan faham dasar yang kumiliki selama ini tentang poligami.
Merefleksikan lagi semuanya, dan mengambil lagi kesimpulan, adakah dari apa yang kulihat itu aku harus merubah cara pikirku atau tidak ?
p.s. Bagian kedua tulisan ini ada disini: http://sosbud.kompasiana.com/2014/10/26/mengapa-bersedia-menjadi-istri-kedua-a-true-story--687666.html
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI