Itu nggak masuk hitungan. Bukan itu yang kumaksud.
Yang kumaksud adalah, poligami ini 'dikampanyekan' , dan dilakukan, oleh orang- orang yang dihitung sebagai 'orang saleh', 'orang taat beribadah', yang bahkan sering bicara di muka umum memberikan ceramah keagamaan.
Waduh.
Alarm mulai berbunyi di kepalaku.
Bukan, bukan tentang aku. Alarm itu berbunyi tidak semata tentang aku (dan suamiku).
Sebab walau tadinya tak pernah bertanya, pada suatu hari, sekian tahun setelah pernikahan kami, ketika urusan poligami seperti yang kuceritakan di atas ini mulai santer menjadi bahan berita, tanpa bertanya aku malah mendapatkan jawaban atas apa yang dipikirkan suamiku tentang poligami.
Suamiku sedang membaca majalah, saat itu, dan sambil lalu dia mengomentari berita yang dibaca yang ada kaitannya dengan poligami. Intinya, dia mengatakan, bahwa walaupun benar poligami itu diijinkan, ijin itu tidak bisa dibaca separo- separo. Lihat dulu syarat 'bisa adil' yang merupakan satu kesatuan dengan dibolehkannya poligami itu dan juga contoh yang dilakukan Rasulullah dulu.
" Rasulullah itu tidak berpoligami saat istri pertamanya masih hidup, " kata suamiku. " Rasulullah menjaga pernikahan dengan satu istri sampai istri pertamanya meninggal dunia. Dan setelah itu, Rasulullah memang berpoligami. Tapi tujuannya kan membantu. Yang dinikahi itu janda- janda perang. "
Hanya itu kalimat yang dikatakan suamiku, lalu dia asyik membaca majalah lagi.
Tapi bagiku, itu sudah cukup. Kupahami apa yang dimaksudkannya, dan kudapati bahwa pemikirannya sesuai dengan pemikiranku. Itu sebabnya kukatakan bahwa 'kampanye tentang poligami' menyalakan alarm, tapi tak semata tentang aku.
[caption id="attachment_349727" align="aligncenter" width="668" caption="Gambar: becuo.com"]