***
[caption id="attachment_350505" align="aligncenter" width="858" caption="Jokowi dan Iriana, foto di buku nikah. Gambar: detik.com"]
Saat pertama kali membaca tentang Iriana yang tak mau dimadu, dan melihat gambar buku nikah dimana hal tersebut dicantumkan, mau tak mau kekagumanku pada sosok Ibu Negara ini bertambah. Begitu pula pada sang suami, yang kini menjadi Presiden Republik Indonesia.
Munculnya perjanjian tertulis dalam buku nikah tentang 'tidak mau dimadu' itu bagiku menunjukkan bahwa ada keterbukaan, kejujuran dan kesepakatan tentang harapan dalam pernikahan yang bisa mereka komunikasikan dengan baik dan disepakati sebelum mereka menikah dan diresmikan perjanjiannya pada saat pernikahan.
Aku tertarik untuk menuliskan tentang perjanjian yang ada dalam buku nikah Iriana dan Jokowi itu karena kebetulan beberapa saat belakangan ini aku sedang membuat serangkaian tulisan tentang poligami yang berisi pendapatku mengenai poligami, dan pengalamanku bertemu dengan seseorang yang berstatus istri kedua (yang pada akhirnya membuatku mengambil kesimpulan bahwa kesediaannya menjadi istri kedua didasari pada pertimbangan materi, sementara ketertarikan lelaki yang menjadi suami dan mengambilnya menjadi istri kedua terutama karena penampilan fisik perempuan itu yang memang cantik ).
***
Aku memang sudah lama prihatin mengenai kampanye- kampanye mengenai poligami yang pada tahun- tahun belakangan ini marak terjadi. Terutama kampanye bahwa perempuan saleh akan mengijinkan suaminya menikah lagi. Bahwa dengan bersedia menjalani poligami maka seorang perempuan akan dibukakan pintu khusus untuk masuk surga, dan beragam kampanye yang menurut pendapatku sendiri tidak mencerminkan esensi mendasar mengapa poligami itu diperbolehkan dan apa tujuan yang sebenarnya.
Pasal- pasal yang disebutkan telah direduksi semata untuk menjustifikasi. Hanya disebutkan boleh tanpa menyebutkan syaratnya, yang padahal merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Poligami yang banyak terjadi akhir- akhir ini menurut pendapatku lebih banyak berbalut nafsu, tapi dibungkus seakan- akan itu ibadah dan berkilah bahwa itu contoh yang diberikan Nabi. Padahal beda sekali.
Nabi ( Muhammad ) tidak mencontohkan poligami dengan cara yang dilakukan para suami yang menikah lagi di masa kini. Tak ada istri pertama yang disakiti hatinya, sebab Nabi Muhammad menjaga pernikahannya sebagai pernikahan monogami hingga istri pertamanya wafat. Juga, walau setelah itu Nabi berpoligami dan memiliki beberapa orang istri, yang dinikahinya adalah janda- janda korban perang. Niatnya membantu, bukan semata nafsu.
Aku sungguh berharap bahwa para perempuan tidak begitu saja bersedia menelan dan mempercayai kampanye dimana faham tentang poligami dan keikhlasan seorang perempuan untuk mengijinkan suaminya menikah lagi direduksi dan didangkalkan begitu rupa. Aku juga sungguh berharap agar para perempuan bisa dan berani mengemukakan keinginannya, termasuk tidak menekan, melawan atau membohongi logika dan perasaannya yang tak rela dimadu.