Tidak mau dimadu.
IRIANA, yang saat ini menjadi Ibu Negara, rupanya meminta janji sang suami, Joko Widodo saat menikahinya untuk tak menduakan dirinya. Dan disepakati.
Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia yang baru dilantik dan kini populer dengan nama panggilan Jokowi, memberikan janjinya. Bukan hanya verbal, janji itu dituliskan dalam buku nikah antara Jokowi dan Iriana. Pada buku nikah bertanggal 24 Desember 1986 itu ada kolom " apabila ada perjanjian selain ta'lik talak, sebutkan." Dan begitulah, yang disebutkan disitu adalah " Tidak mau dimadu. "
***
[caption id="attachment_350504" align="aligncenter" width="375" caption="Buku nikah Iriana dan Jokowi. Gambar: detik.com"][/caption]
Ada banyak berita yang bisa dibaca tentang Iriana, ibu negara yang penampilannya sederhana itu. Tentang bagaimana dia berhenti kuliah sebab dinikahi Jokowi yang saat itu hendak mengadu nasib dengan merantau ke Aceh.
Setelah menikah, Iriana ikut bersama Jokowi ke Aceh, melewatkan hari- hari berdua dalam keadaan yang sederhana dan baru kembali ke Solo beberapa waktu kemudian ketika Jokowi merasa sudah cukup memiliki tabungan dan ingin memulai usahanya sendiri.
Usaha yang tak selalu berjalan mulus, sebab ada suatu hari dimana Jokowi tertipu dan usahanya hampir bangkrut. Iriana tak berpaling. Dia mendampingi sang suami dengan setia hingga usaha itu bisa bangkit kembali.
Iriana tak ragu menunda kuliahnya untuk mengikuti suami merantau ( baru bertahun- tahun kemudian Iriana kemudian kembali ke bangku kuliah dan menyelesaikan pendidikannya hingga jenjang pasca sarjana ). Dia juga bersedia mulai dari bawah, menjalani kehidupan yang sederhana dengan suaminya. Dia ada di sisi suaminya dalam susah dan senang. Baik ketika suaminya dalam keadaan sangat sulit ketika usahanya hampir bangkrut maupun ketika suaminya berhasil, baik sebagai pengusaha, maupun dalam posisinya sebagai pejabat negara, hingga kini menjadi Presiden Republik Indonesia.
Iriana tak takut dan bersedia menjalani semua itu.
Tapi ada satu yang Iriana tidak mau, yaitu dimadu.
***
[caption id="attachment_350505" align="aligncenter" width="858" caption="Jokowi dan Iriana, foto di buku nikah. Gambar: detik.com"]
Saat pertama kali membaca tentang Iriana yang tak mau dimadu, dan melihat gambar buku nikah dimana hal tersebut dicantumkan, mau tak mau kekagumanku pada sosok Ibu Negara ini bertambah. Begitu pula pada sang suami, yang kini menjadi Presiden Republik Indonesia.
Munculnya perjanjian tertulis dalam buku nikah tentang 'tidak mau dimadu' itu bagiku menunjukkan bahwa ada keterbukaan, kejujuran dan kesepakatan tentang harapan dalam pernikahan yang bisa mereka komunikasikan dengan baik dan disepakati sebelum mereka menikah dan diresmikan perjanjiannya pada saat pernikahan.
Aku tertarik untuk menuliskan tentang perjanjian yang ada dalam buku nikah Iriana dan Jokowi itu karena kebetulan beberapa saat belakangan ini aku sedang membuat serangkaian tulisan tentang poligami yang berisi pendapatku mengenai poligami, dan pengalamanku bertemu dengan seseorang yang berstatus istri kedua (yang pada akhirnya membuatku mengambil kesimpulan bahwa kesediaannya menjadi istri kedua didasari pada pertimbangan materi, sementara ketertarikan lelaki yang menjadi suami dan mengambilnya menjadi istri kedua terutama karena penampilan fisik perempuan itu yang memang cantik ).
***
Aku memang sudah lama prihatin mengenai kampanye- kampanye mengenai poligami yang pada tahun- tahun belakangan ini marak terjadi. Terutama kampanye bahwa perempuan saleh akan mengijinkan suaminya menikah lagi. Bahwa dengan bersedia menjalani poligami maka seorang perempuan akan dibukakan pintu khusus untuk masuk surga, dan beragam kampanye yang menurut pendapatku sendiri tidak mencerminkan esensi mendasar mengapa poligami itu diperbolehkan dan apa tujuan yang sebenarnya.
Pasal- pasal yang disebutkan telah direduksi semata untuk menjustifikasi. Hanya disebutkan boleh tanpa menyebutkan syaratnya, yang padahal merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Poligami yang banyak terjadi akhir- akhir ini menurut pendapatku lebih banyak berbalut nafsu, tapi dibungkus seakan- akan itu ibadah dan berkilah bahwa itu contoh yang diberikan Nabi. Padahal beda sekali.
Nabi ( Muhammad ) tidak mencontohkan poligami dengan cara yang dilakukan para suami yang menikah lagi di masa kini. Tak ada istri pertama yang disakiti hatinya, sebab Nabi Muhammad menjaga pernikahannya sebagai pernikahan monogami hingga istri pertamanya wafat. Juga, walau setelah itu Nabi berpoligami dan memiliki beberapa orang istri, yang dinikahinya adalah janda- janda korban perang. Niatnya membantu, bukan semata nafsu.
Aku sungguh berharap bahwa para perempuan tidak begitu saja bersedia menelan dan mempercayai kampanye dimana faham tentang poligami dan keikhlasan seorang perempuan untuk mengijinkan suaminya menikah lagi direduksi dan didangkalkan begitu rupa. Aku juga sungguh berharap agar para perempuan bisa dan berani mengemukakan keinginannya, termasuk tidak menekan, melawan atau membohongi logika dan perasaannya yang tak rela dimadu.
Aku yakin, tak ada perempuan yang akan bisa rela dan ikhlas suaminya menikah lagi.
Pada dasarnya, orang tidak boleh menyakiti diri sendiri. Perempuan juga begitu.
Keberanian perempuan untuk mengatakan "tidak mau dimadu" seperti yang dilakukan sang Ibu Negara Iriana patut dipuji. Kesediaan Jokowi untuk menyepakati, juga patut dipuji.
***
Kejujuran para lelaki juga dibutuhkan. Sebab, berapa banyak sebetulnya para suami yang belakangan dengan beragam dalih mengambil istri kedua itu yang berani berterus terang di depan sebelum menikah dengan istrinya mengatakan bahwa mungkin suatu saat nanti dia akan mengambil istri kedua?
Aku yakin, tak banyak. Mayoritas, akan memberikan janji setia.
Dan itu menjadi tidak fair bagi para istri yang suaminya menikah lagi. Sebab dia lalu dipaksa menghadapi situasi yang tak pernah disepakati sebelumnya. Beban dan tekanan diberikan padanya untuk menerima begitu saja keinginan suaminya untuk menikah lagi.
Selain itu, ada hal yang juga perlu dipertanyakan ketika poligami terjadi.
Dimana rasa cinta dan tanggung jawab para suami yang mengambil perempuan lain menjadi istri kedua itu?
Seseorang yang dengan tulus mencinta, tak akan sanggup melihat orang yang dicintainya tersakiti. Apalagi jika orang yang dicinta itu tersakiti oleh dirinya. Seseorang yang benar mencinta akan menjaga hati orang yang dicinta dan bukan membuat hati orang yang konon dicintainya itu berdarah- darah.
Juga, kemana rasa tanggung jawabnya? Mengapa alih- alih bersama- sama dengan istri (pertama) merawat rumah tangga yang mereka bentuk dan anak- anak yang lahir dari pernikahan itu, dia malah enak- enakan berpaling dan berpoligami dengan beragam alasan?
Lelaki sejati tak akan ingkar janji.
p.s. Tulisan terkait :
- Jodoh dan Poligami (http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/10/25/jodoh-dan-poligami-687450.html)
- Mengapa Bersedia Menjadi Istri Kedua? (http://sosbud.kompasiana.com/2014/10/26/mengapa-bersedia-menjadi-istri-kedua-a-true-story--687666.html)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H