Bau itu menusuk hidungku.
SEORANG Bapak, masuk ke dalam gerbong KRL yang sedang menanti keberangkatan, lalu duduk di sampingku.
Pagi- pagi ketika itu, jam ramai hendak berangkat ke kantor.
Dan...
Hukkkk !
Begitu dia duduk di sampingku, indra penciumanku menangkap sesuatu yang bagiku, sungguh tak mengenakkan.
Bau rokok !
Bapak ini pasti perokok berat. Sebab begitu dia duduk, bau rokok itu meruap kemana- mana. Baunya begitu melekat. Nafasnyapun menyebarkan bau yang pasti tak tertanggungkan bagiku jika harus menciumnya terus menerus selama lebih dari satu jam perjalanan.
Untunglah masih ada beberapa tempat duduk kosong di gerbong yang kunaiki itu, jadi aku bisa pindah.
Bertemu dengan seseorang yang semacam itu memang serba salah. Jika bertemu dengan orang yang merokok seenaknya di tempat umum, aku bisa memasang gesture penolakan ( misalnya dengan terang- terangan mengibaskan tangan ke arah asap rokok ) atau juga secara eksplisit bicara pada orang tersebut itu bahwa asap rokoknya mengganggu.
Tapi jika bertemu seorang perokok yang tak sedang merokok namun dari ujung kaki sampai ujung kepala menghamburkan bau rokok seperti itu, apa yang bisa dilakukan? Repot sekali, kan ?
***
[caption id="attachment_358340" align="aligncenter" width="448" caption="Gambar: uhaweb.hartford.edu"][/caption]
Aku termasuk salah seorang yang paling gembira saat pembatasan untuk merokok di tempat umum diberlakukan.
Kantorku dulu termasuk salah satu yang paling awal melaksanakan hal tersebut. Duh, senangnya, sebab ruangan kerja jadi bebas asap rokok !
Juga penerbangan.
Dulu, dalam satu penerbangan masih ada tempat- tempat duduk yang dikelompokkan menjadi smoking dan non-smoking. Maka saat check in, selalu kupastikan bahwa aku meminta tempat duduk di area non-smoking. Kini, sepertinya (hampir) semua penerbangan sudah menerapkan larangan merokok di dalam pesawat. Termasuk di toilet dimana detektor asap akan langsung membuat alarm menyala jika ada yang merokok di dalamnya.
Lalu kini, di banyak tempat umum, larangan merokok juga diberlakukan.
Asyik !
***
Ih, emangnya kenapa?
Merokok kan hak seseorang.
Jikapun itu tidak sehat, yang rusak kan badan orang itu sendiri. Kalaupun ngabisin uang, kan uangnya sendiri?
He he.
Iya, itu jika merokok tidak menyebarkan asap kemana- mana, tidak menyebabkan orang terpaksa jadi perokok pasif. Itu jika merokok dilakukan di ruang pribadi yang juga tidak mengganggu orang lain.
Kalau dilakukan di tempat umum sehingga mengganggu orang lain, kan nggak bener jadinya ?
***
Tentang rokok, aku jadi ingat sebuah artikel yang pernah kubaca. Yakni bahwa menurut suatu hasil penelitian, konon para perokok itu memiliki ketidakmampuan untuk menahan nafsu dan juga kurang toleran pada orang lain.
Sementara itu, orang- orang yang tak merokok, konon, merupakan orang yang lebih hangat dan menyenangkan dibandingkan para perokok.
Aha !
Para perokok pasti kesal sekali membaca tulisan semacam itu.
Sayangnya, dalam beberapa hal, kesimpulan itu mungkin benar...
Contoh bahwa para perokok itu tak mampu menahan nafsu salah satunya terjadi dalam perjalanan ibadah haji yang belum lama ini kulakukan. Nafsu, tentu bisa didefinisikan menjadi beragam hal. Tapi dalam hal ini, yang ingin kusoroti adalah nafsu merokok itu sendiri.
Rupanya, menahan diri untuk tak merokok di tempat umum bahkan saat sedang beribadah hajipun sulit dilakukan.
Di awal- awal perjalanan, hal itu belum terlihat. Di Madinah, lalu di Mekah, kami tinggal di hotel bintang lima, dimana rokok tak diijinkan hadir di ruang makan. Situasi berubah beberapa hari menjelang hari-H. Menjelang keberangkatan kami ke Mina untuk memulai rangkaian utama ibadah haji kami.
Hari- hari itu, kami pindah ke sebuah apartemen di pinggiran kota Mekah. Yang disebut 'apartemen' itu adalah sebuah bangunan bertingkat lima lantai dimana selama beberapa hari itu kami akan terus bersama- sama berada disana. Kegiatan utama diisi dengan shalat berjamaah dan pengajian. Pemantapan pengetahuan dan persiapan mental menjelang puncak ibadah haji.
Sebuah ruangan luas di lantai dasar difungsikan sebagai tempat shalat dan pengajian. Di sampingnya, ada ruangan yang digunakan sebagai ruang makan.
Dan...
Di ruang makan inilah, bahkan pada hari pertama kami pindah ke apartemen itu kulihat seorang Bapak dari rombongan kami dengan tenangnya merokok di ruang makan itu.
Ya ampun.
Udara begitu panas saat itu, rata- rata 48 derajat Celcius. Ruang makan itu tidak besar. Jika ada yang merokok, asapnya akan tercium oleh semua orang. Walah.
Untunglah itu tak berlangsung lama. Sebab lalu diumumkan agar jamaah tak merokok di ruang makan.
Syukurlah, pikirku.
Tapi cerita rupanya belum selesai...
Makan malam yang bentuknya prasmanan biasa dihidangkan diantara shalat maghrib dan shalat Isya di apartemen itu. Para ustad membuat aturan, setiap kali makan, jamaah perempuan mengantri lebih dulu. Seusai itu, para jamaah lelaki menyusul.
Selama dalam perjalanan ibadah haji, aku sendiri berusaha menghemat energi. Sempat sakit di awal perjalanan ketika berada di Madinah, kondisiku tak begitu fit. Kelelahan mudah sekali melanda. Maka, aku menghindari antrian saat makan.
Aku biasa menanti hingga saat terakhir. Menjelang ujung antrian habis, baru aku berdiri mengantri, jadi aku menanti giliran dengan hanya dua atau tiga orang di depanku saja. Biarlah resiko satu atau dua macam lauk mungkin sudah tinggal sedikit atau bahkan habis kutanggung saja daripada aku harus berdiri berlama- lama. ( Kiat yang sama, kelak juga kuterapkan di Mina dan di Arafah ).
Saat itu, usai shalat maghrib. Seperti biasa, para perempuan dipersilahkan mengambil makan malam di ruang makan. Bapak- bapak, masih duduk berbincang di bagian depan ruang besar yang difungsikan sebagai mushala oleh kami.
Seperti biasa, aku dan beberapa jamaah perempuan lain menanti antrian memendek.
Eh ndilalah... sore itu ternyata karena sudah ada pengumuman dilarang merokok di ruang makan, beberapa orang menjadi gelisah.
Yang gelisah, bukan cuma Bapak-bapak yang merokok tapi juga istrinya !
Sore itu seorang ibu yang suaminya perokok sibuk menggusah, mendorong- dorong para jamaah perempuan untuk segera berdiri dan mengantri di ruang makan.
" Ayo makan sekarang, Bapak- bapaknya sudah tidak sabar, tuh, " begitu katanya
Kuperhatikan Bapak- bapak di bagian depan mushalla, sepertinya mereka tenang- tenang saja. Tak ada ketidak sabaran atau ketergesaan terlihat. Maka jelas, yang dimaksud 'sudah tidak sabar' itu sebenarnya khusus suaminya. Bukan Bapak- bapak pada umumnya. Setelah ada larangan merokok di ruang makan, tempat dan waktu untuk merokoknya menjadi terbatas. Itu sebabnya Bapak itu ingin cepat- cepat makan agar bisa segera merokok setelah makan.
Ibu itu terus saja sibuk mendorong- dorong kami. Lama- lama, aku jadi kesal juga.
Kucoba menahan diri. Sebab aku memang sudah bertekad untuk menahan amarah selama perjalanan ibadah hajiku. Kutarik nafas panjang sebelum akhirnya dengan nada yang kuupayakan tak terlalu naik, kukatakan begini, " Oh, kalau ada Bapak- bapak yang tidak sabar dan perlu makan duluan, silahkan saja, saya sih tidak keberatan... Â "
Sudah, begitu saja. Lalu kuabaikan ibu- ibu itu walau dia tetap sibuk menyuruh- nyuruh jamaah perempuan segera makan. Aku dan beberapa jamaah perempuan lain tetap tak berdiri hingga antrian memendek, seperti biasa.
Tak luput setelah itu, kuperhatikan apa yang terjadi. Rupanya benar dugaanku. Yang tak sabar itu adalah Bapak- bapak yang perokok. Suami ibu yang menggusah jamaah perempuan untuk cepat makan tadi itu dan satu orang lagi teman sekamarnya yang juga perokok. Sebab tak lama setelah ujung antrian perempuan habis, kedua Bapak itu segera masuk ke dalam antrian untuk makan (agar kemudian setelah itu bisa merokok sebelum shalat Isya ).
Duh!
Kejadian itu  mau tak mau, membuatku berpikir: diakui atau tak diakui, sikap seperti itu memang nyata menunjukkan keegoisan, sikap kurang toleransi dan ketidak mampuan menahan diri. Persis seperti yang dikatakan oleh artikel yang pernah kubaca itu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H