Mohon tunggu...
Humaniora

Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Penyelesaian dengan Jalur Litigasi)

1 Juli 2015   13:49 Diperbarui: 4 April 2017   18:13 3353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbankan merupakan salah sektor yang mempunyai peranan penting di berbagai bidang, antara lain dalam kegiatan masyarakat khususnya di bidang financial, serta kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pribadi seseorang. Dewasa ini masyarakat seolah-olah tidak dapat dipisahkan dari dunia perbankan sebab sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa jasa perbankan sangat membantu kegiatan perekonomian.

Berdasarkan pada penggolongan jenis bank maka menurut Undang – Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang – Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, jasa – jasa yang dapat dilakukan oleh bank umum salah satunya adalah transfer atau pemindahan uang. Fungsi bank dalam menjalankan operasional secara umum adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai financial intermediary atau lembaga keuangan[1], sehingga bank dalam melakukan usahanya selalu berpedoman pada prinsip kehati – hatian ( prudential banking regulation ) atau pengaturan tentang prinsip – prinsip kehati-hatian pada bank, yang pada dasarnya berupa berbagai ketentuan yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup dan pengelolaan bank secara sehat sehingga mampu menjaga kepercayaan masyarakat serta menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi dan pelayanan sistem pembayaran bagi perekonomian.[2]

Bank selalu dituntut untuk bersikap profesional agar dapat berfungsi secara efisien. sehat serta menghadapi persaingan global. Dalam era globalisasi perkembangan ilmu dan teknologi maju dengan pesatnya. Hal ini juga terjadi di dalam sistem perbankan, dimana perbankan diharuskan untuk meyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi tersebut untuk melayani nasabahnya dengan baik.

Dalam menjalankan kegiatan perbankan khususnya perbankan syariah, tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu perselisihan atau sengketa di dalamnya. Perselisihan atau persengketaan merupakan suatu keadaan yang tidak dikehendaki oleh setiap orang yang sehat akal dan pikirannya.[3] Pada hakikatnya, sengketa ini dapat muncul karena adanya suatu masalah. Masalah ini sendiri terjadi karena adanya suatu kesenjangan antara das sollen dan das sein, atau dapat pula terjadi karena adanya perbedaan antara hal yang diinginkan dengan hal yang terjadi.

Perselisihan yang terjadi ini pada akhirnya harus diselesaikan oleh keduabelah pihak yaitu pihak bank dan pihak nasabah karena keduabelah pihak ini memiliki kedudukan yang sama sebagai pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam hal penyelesaian sengketa yang terjadi pada perbankan syariah, ada dua (2) metode penyelesaian sengketa yaitu penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi (jalur pengadilan) dan penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi (jalur di luar pengadilan) yang dimana masing-masing metode penyelesaian tersebut memiliki kelemahan serta kelebihan masing-masing. Dasar penyelesaian sengketa di dalam perbankan syariah ini sendiri diatur di dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Prinsip syariah[4] yang menjadi landasan bank syariah bukan hanya sebatas landasan ideologis saja, melinkan juga sebagai landasan operasionalnya. Berkaitan dengan hal itu bagi bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya tidak hanya kegiatan usahanya atau produknya saja yang harus sesuai dengan prinsip syariah tetapi juga meliputi hbungan hukum yang tercipta dan akibat hukum yang timbul. Termasuk dalam hal ini jika terjadi sengketa antara para pihak bank syariah dengan nasabahnya.

Penyelesaian sengketa atau yang lebih dikenal dengan istilah dalam bahasa arab Ash-Shulhu yang berarti memutus pertengkaran atau perselihan atau dalam pengertian syariatnya adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 orang yang bersengketa. Penyelesaian sengketa memiliki prinsip tersendiri yang bertujuan ntuk menyelesaikan segala permasalahan atau sengketa yang ada. Prinsip-prinsip yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Adil dalam memutuskan perkara sengketa sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam pengambilan keputusan;
  2. Diselesaikan Kekeluargaan;
  3. Win win solution, menjamin kerahasian sengketa para pihak;
  4. Menyelesaiakan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan

 Al-Hujurat : 9, berbunyi :

“jika dua golongan orang yang beriman bertengkar, damaikanlah mereka. Tetapi jika salah satu dari kedua (golongan) berlaku aniaya terhadap yang lain, maka perangilah orang yang menganiaya sampai kembali ke jalan Allah SWT. Tetapi apabila ia telah kembali, damaikanlah keduanya dengan adil, dan bertindaklah benar, sungguh Allah mencintai orang-orang yang beraku adil ”.

Hadis Rasulullah SAW, yakni sebagai berikut:

“perjanjian diantara orang-orang muslim itu boleh, kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-hakim dan Ibnu Hibban) ”

Hadis lain juga diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“apabila berselisih kedua belah pihak(penjual dan pembeli) dan tidak ada bukti-bukti diantara keduanya, maka perkataan yang (diterima) ialah yang dikemukakan oleh pemilik barang atau saling mengembalikan (sumpah).”     

Dalam menyelesaikan suatu sengketa yang muncul yang mencakup kajian syariah seperti sengketa perbankan syariah, persoalannya bukan hanya menyangkut hakim peradilan umum yang belum tentu menguasai masalah ekonomi syariah,[5] tetapi lebih dari itu peradilan umum tidak menggunakan syariah islam sebagai landasan hukum dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.[6]

Amandemen atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memberikan wewenang kekuasaan Peradilan Agama menjadi bertambah luas. Pengadilan Agama adalah sebuah lembaga negara dalam struktur pemerintahan Republik indonesia yang pengaturannya dibawah lingkup Departemen Agama dan bertugas dibidang kekuasaan kehakiman Islam. Pada awalnya Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 menegaskan kewenangan Peradilan Agama adalah berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :

  1. Perkawinan;
  2. kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
  3. wakaf dan shadaqah.[7]

Dengan adanya amandemen atas  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut, maka ruang lingkup tugas dan wewenang Peradilan Agama diperluas. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syari’ah yang meliputi :

  1. Bank syari’ah;
  2. Lembaga keuangan mikro syari’ah;
  3. Asuransi syari’ah;
  4. Reasuransi syari’ah;
  5. Reksa dana syari’ah:
  6. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
  7. Sekuritas syari’ah;
  8. Pembiayaan syari’ah;
  9. Pegadaian syari’ah;
  10. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah;
  11. Bisnis syari’ah.[8]

Adapun sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah :[9]

  1. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
  2. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;
  3. Sengketa di bidang ekonomi syariah diantara orang yang beragama Islam maupun orang non Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Selain hal-hal di atas, ruang lingkup dan jangkauan kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama di bidang bank syariah adalah tidak menjangkau klausula arbitrase karena konsekuensi yuridis dari adanya klausula arbitrase adalah apabila terjadi sengketa maka penyelesaiannya harus dilakukan melalui forum arbitrase itu sendiri. Para pihak bersangkutan tidak dibenarkan lagi mengajukan sengketa yang terjadi ke peradilan negara. Selain itu terhadap putusan arbitrase para pihak ternyata tidak melaksanakannya secara sukarela, maka sesuai dengan ketentuan undang-undang, pengadilan agama yang berwenang untuk memerintahkan pelaksanaan putusan tersebut. Karena badan arbitrase itu sendiri tidak punya wewenang untuk menjalankan atau mengeksekusi putusannya tersebut.

Proses penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui jalur litigasi dalam proses persidangannya sama seperti proses persidangan apda peradilan umum. Apabila upaya penyelesaian melalui perdamaian tidak berhasil, dimana kedua belah pihak ternyata tidak menemui kata sepakat untuk menyelesaiakan perkaranya secara damai maka sesuai dengan ketentuan Pasal 115 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2) jo. Pasal 18 ayat (2) PERMA hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut akan diperiksa dan diselesaikan melalui proses persidangan sebagaimana mestinya.

Dalam mengadili perkara, hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkrit yang ditemukan dalam perkara tersebut.[10] Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang,yurisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan.[11] Adapun bagi lingkungan peradilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-Quran dan AS-Sunnah sebagai sumber utama.

Penyelesaian perkara perbankan syariah di lingkungan peradilan agama akan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Artinya, setelah upaya damai ternyata tidak berhasil maka hakim melanjutkan proses pemeriksaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yang dimaksud. Dengan dmikian dalam hal ini proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul dengan proses jawab menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.

Setelah proses jawab menjawab tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua pihak berperkara masing-masing mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan dipersidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses pemeriksaan perkara di persidangan.

Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara dipersidangan selesai, hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan daam perkara tersebut. Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut akan menyusun suatu putusan terhadap sengketa tersebut.

Berkaitan dengan menjatuhkan suatu putusan, hakim dituntut berhati-hati dan secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan prinsip syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya. Disatu sisi pihak terdapat ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi oleh hakim berupa denda sejumlah uang karena sanksi semacam itu dianggap mengandung unsur riba yang secara qat’I dilarang syara,, sementara hal mendasar yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional justru unsur yang mengandung riba itu sendiri. Dipihak lain, terdapat ulama yang mendukung pemberian sanksi semacam itu terhadap nasabah karena beralasan untuk menegakkan maqasid asy-syariah.[12]

Dalam konteks perbankan syariah, khususnya di Indonesia mengenai alternative penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh para pihak telah mengalami perkembangan yang signifikan baik dari segi peraturan hukum  maupun kelembagaan. Hal ini ditunjukkan dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan undang-undang Nomor 7 tahun 1999 tentang peradilan Agama. Poin inti dari amandemen undang – undang peradilan agama ini adalah terletak pada penambahan kewenangan pengadilan agama berupa kewenangan untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa di bidang ekonomi syariah.

Islam sebagai sebuah agama yang lebih mencintai perdamaian dan menjadi pedoman bagi peluknya-pemeluknya, dalam hal sengketa muamalah yang timbul menegaskan akan lebih utama jika diselesaikan melalui cara-cara damai (tasaluh). Untuk itu para pihak yang ada sebaiknya lebih mengedepankan menempuh upya musyawarah untuk mufakat ketika menghadapi sengketa. Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan persaudaraan yang ada dapat tetap terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan baik diantara para pihak, serta dapat lebih hemat dari segi waktu dan biaya. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai baru para pihak dapt menempuh upaya lain, yaitu, melalui jalur negosiasi, mediasi, arbitrase, serta litigasi melalui pengadilan sebagai the last resort yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa. Jalur litigasi melalui pengadilan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah diakomodir oleh lingkup Peradilan Agama yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikannya

[1] Sri Susilo dan Tim, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hlm. 4

[2] Perry Warjiyo, Bank Indonesia Sebagai Sebuah Pengantar, PPSK BI, Jakarta , 2004, hlm.145

[3] Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

[4] Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (13) UU No. 10 Tahun 1998, yang dimaksud dengan prinsip syariah dalam hal ini adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanana dana atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnay yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat (12)  UU No. 21 Tahun 2008 prinsip syariah adalah prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasrkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

[5] Karnaen Perwataatmadja, 2005, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, hlm. 295

[6] Muhammad Syafii Antonio, 2005, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani, Jakarta, hlm. 214

[7]Abdul Gofur Anshori, 2009,  Perbankan Syariah Di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 214

[8] Suhartono, Prospek Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional, www.Badilag.net diakses pada tanggal 23 Agustus 2014, pukul 16.30 wib

[9] Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syariah, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007, hlm. 8

[10] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm. 167

[11] Taufik, Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyah, LKis, Yogyakarta, 2007, hlm. 95

[12] Maftukhatusolikhah dan Rusyid, Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah, Politea Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 6

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun