Sudah hampir  10 tahun menulis artikel di Kompasiana membuat  banyak  pembaca yang bertanya tentang siapa saya sebenarnya.  Banyak yang berpikir bahwa saya adalah Pengamat Politik.  Tentu saja itu salah.  Sebenarnya saya ini bukan siapa-siapa melainkan hanyalah masyarakat pemerhati masalah social, politik dan demokrasi.
Kebetulan saja  dulu  tahun 2012 Prediksi  yang saya buat  untuk  Pilgub DKI  cukup tepat hasilnya. Begitu juga dengan Prediksi saya di Pilpres 2014 cukup tepat sehingga banyak orang yang menganggap saya sebagai Pengamat Politik. Padahal semua  itu hanyalah kebetulan  belaka  karena latar belakang  pernah kuliah di Fakultas Matematika  sehingga  sudah terbiasa  mengutak-ngatik angka.
Pada momen Pilgub DKI 2012 Putaran Kedua  sebuah Prediksi yang saya tulis di artikel saya : Jokowi-Ahok  54,28% dan Foke-Nara 45,72% dan hasil KPUD DKI  adalah Jokowi-Ahok 53,82 dan  Foke-Nara 46,18%. Jadi prediksi saya meleset 0,46 %.Â
Sementara untuk Pilpres 2014 dalam artikel  tanggal 7 Juli 2014, saya menuliskan prediksi untuk Jokowi-JK 53,69% dan  Prabowo-Hatta 46,31%  dan hasil KPU waktu itu adalah Jokowi-JK :53,15% dan  Prabowo-Hatta 46,85%.  itu artinya prediksi saya  meleset 0,54%.
Dalam kedua artikel prediksi tersebut saya menggunakan basis data Survey Elektabilitas dari berbagai lembaga survey dan mengolah angka-angkanya menjadi sebuah prediksi.Â
Saya menyebut teori yang saya gunakan itu sebagai  "Teori Proporsi Pemilih". Teori ini mengabaikan angka Undecided Voters dimana angka Undecided Voters  kemudian saya proporsikan (dibagi secara proporsional ) kepada  kedua kandidat.
Saya menamai seperti itu karena saya bukan pakar Survey ataupun  Pakar Politik sehingga memang tidak tahu istilahnya. Dan kemarin ternyata saya baru paham bahwa teori yang saya pakai d itahun 2012-2014  itu disebut juga oleh Litbang Kompas sebagai "Extrapolasi Elektabilitas".
Baiklah kita tinggalkan dulu soal teori itu. Teori itu mungkin sangat layak dipakai untuk memprediksi hasil Pemilu ataupun Pilkada.  Berikutnya saya ingin mengajak pembaca untuk menelaah  soal Potensi Melesetnya Hasil Survey Lembaga Survey di Pilpres 2019.
Tapi sebelum itu saya jelaskan sedikit tentang sebuah teori  lagi yang  baru saja saya temukan dalam beberapa hari terakhir ini. Silahkan disimak dan silahkan disanggah di kolom komentar kalau anda menyimpulkan teori ini salah.
BENARKAH SETIAP SURVEY PILKADA UNTUK Â KONTESTAN INCUMBENT PASTI MELESET?
Mungkin pembaca setia Kompasiana sudah hapal dengan kalimat-kalimat saya dalam banyak artikel yang sudah saya publish dalam sebulan terakhir ini. Â Bahwa saya meragukan Hasil-hasil Survey Pilpres 2019 yang sudah ada.
Aneh dengan hasilnya karena ternyata jauh berbeda dari teori  yang sudah saya simpulkan selama  beberapa tahun terakhir.  "Bahwa dalam sebuah Kontestasi Pemilu Kasta Tertinggi seperti Pilpres yang hanya diikuti 2 kandidat, tidak mungkin tercipta selisih elektabilitas antar kandidat mencapai angka lebih dari 10%."
Argumen dasarnya adalah Pemilu Tertinggi seperti Pilpres akan membuat masyarakat yang ada cenderung mengkristal dalam 2 kubu yang berbeda. Akan terjadi Tarik menarik pengaruh sehingga akhirnya 2 kekuatan yang ada akan cenderung seimbang. Kekuatan yang cenderung seimbang inilah yang menciptakan Selisih Angka Elektabilitas menjadi tipis.
Dalam tulisan tedahulu sudah saya berikan contoh fakta dari teori tersebut  antara lain : Pilpres 2014, Pemilu Malaysia dan Pilpres Amerika yang terakhir dimana semua survey Elektabilitas yang dilakukan berbagai lembaga survey pada masing-masing kontestasi  menghasilkan selisih angka Elektabiltas antar kandidat dibawah 10%.
Tapi ternyata untuk Pilpres 2019 ini, berbagai lembaga Survey  malah merilis Angka-angka  Elektabilitas  yang memperlihatkan  bahwa Selisih Elektabilitas antara  Jokowi  dan Prabowo mencapai angka 20%  hingga lebih.
Jadi dengan kondisi yang begini  kesalahan sebenarnya ada dimana? Apakah teori saya yang salah?
Akhirnya saya menelaah lagi berbagai hasil-hasil survey Elektabilitas untuk Pilkada-pilkada yang lalu. Kemudian setelah sekian hari menelaah, akhirnya saya menemukan suatu fenomena yang unik  yaitu Ternyata  Survey Elektabilitas dilakukan pada Pilkada --pilkada yang salah satu kontestannya  seorang Incumbent, maka survey Elektabilitasnya malah jauh meleset.
Sayapun mempelototi data-data survey dari  Pilkada-pilkada yang salah satu kontestannya adalah Petahana (Incumbent).  Dan ternyata untuk Pilwako Surabaya tahun 2015, Pilgub DKI 2017 Putaran Pertama, dan Pilgub Jateng 2018 semua survey yang dilakukan  oleh lembaga-lembaga survey  hasilnya meleset jauh.
Survey untuk Pemilihan Walikota Surabaya antara Tri Rismaharini vs Rasiyo meleset sekitar 8%. Berikutnya Survey Elektabilitas dari 4 Lembaga Survey untuk Pilgub DKI 2017 putaran pertama meleset sekitar 12%. Dan terakhir Survey untuk Pilgub Jateng 2018 yang dilakukan oleh 5 lembaga survey rata-rata meleset hampir 20%.
Dengan fenomena semacam itu maka saya simpulkan: Survey yang dilakukan pada Pilkada dimana salah satu kontentasnya  seorang Incumbent pasti hasil surveynya akan meleset.  Saya  menyebut fenomena ini sebagai Teori "Surinc Passed". Singkatan dari : Survey Incumbent Pasti Melesed.
Mari kita simak sedikit tentang  hasil-hasil survey  pada 3 Pilkada yang salah satu kontestannya adalah Incumbent (Petahana).
PILWAKO SURABAYA 2015, PILGUB DKI 2017 DAN PILGUB JATENG 2018 YANG MELESET SURVEYNYA
Silahkan lihat table yang ada.
Pada Pemilihan Walikota Surabaya tahun 2015 lalu sang Incumbent Tri Rismaharini dari PDIP bertarung melawan Rasiyo dari partai Demokrat. Â Dari hasil browsing saya hanya mendapatkan 2 Lembaga Survey yang mensurvey Elektabilita kedua Calon Walikota. Lembaga Survey SCG dan Indo Barometer.
SCG merilis angka elektabilitas penuh (tanpa undecided Voters) Â yaitu : Tri Rismaharini 94% dan Rasiyo 6%. Sementara Indo Barometer merilis angka Elektabilitas : Tri Rismaharini 82,5% Rasiyo 4,5% dan Undecided Voters 13%.
Seperti yamg saya lakukan pada Prediksi Pilpres 2014 dan Prediksi Pilgub DKI 2012 saya menggunakan Teori Proporsi Pemilih sehingga angka-angka survey Indo Barometer saya konversikan menjadi Angka Elektabilitas Penuh yaitu : Tri Rismaharini 94,83% dan  Rasiyo 5,17%.
KPUD Surabaya menetapkan Hasil Pilwako sebagai berikut : Tri Risma 86,34% dan Rasiyo 24,66%. Itu artinya Survey Elektabilitas yang dilakukan kedua lembaga survey meleset masing-masing sekitar 8%.
Selanjutnya  Pilgub DKI 2017.  Saya ambil survey Putaran Pertama karena lebih orisinal surveynya. Lagipula di putaran kedua hanya ada 2 lembaga survey yang melakukan survey. Saya pilih yang banyak lembaga agar bisa tahu perbedaannya.
Dan dari angka Elektabilitas yang dirilis 4 Lembaga  survey yaitu : Populi Center, LSI Denny JA, SMRC dan Median kesemuanya saya konversikan ke angka Elektabilitas Penuh.  Dan ternyata ke empat-empatnya meleset jauh.
Saya bandingkan angka survey mereka ke pemenang Pilgub DKI 2017 Anies Baswedan dan terlihat hasilnya setiap lembaga survey rata-rata melesetnya mencapai hampir 12%.
Selanjutnya  yang paling parah melesetnya itu yang terjadi di Pilgub Jateng 2018. Bisa dilihat di table, 5 lembaga Survey yang merilis Elektabilitasnya meleset antara 16% hingga 24%.  Atau rata-rata melesetnya 19,94%. Silahkan dicermati langsung detailnya.
Saya sendiri belum yakin apakah fenomena  dari 3 Pilkada itu bisa mewakili sebuah Teori yang saya sebut sebagai Teori "Surinc Passed" ataukah belum terwakili.
Mungkin saya masih butuh beberapa kasus ataupun  data survey untuk Pilkada yang salah satu kontestannya merupakan Petahana.
Tapi seandainya Teori itu memang Nyata adanya. Tentu ini harus menjadi perhatian kita semua untuk Pilkada-pilkada ke depan. Â Fenomena ini akan membuat suatu kesimpulan bahwa Mungkin ada suatu kebutuhan metoda survey yang khusus bila memang salah satu kontestannya merupakan Petahana.
Setelah Pilpres 2019 ini selesai akan menjadi bukti bahwa Teori "Surinc Passed" itu memang ada atau hanya kebetulan terjadi di 3 Pilkada diatas.
APA YANG TERJADI BILA PILPRES 2019 JUGA KENA Â EFEK "SURINC PASSED"?
Inilah yang saya takutkan sebenarnya. Â Takutnya memang ada efek Surinc Passed pada Pilpres 2019. Â Padahal selama ini kita semua sangat mengandalkan hasil-hasil survey dari lembaga survey yang ada.
Dalam teori Surinc Passed, bila disebut angka meleset 10% maka kandidat yang diunggulkan berkurang angka Elektabilitasnya sebanya 10% sementara kandidat lainnya bertambah sebanyak 10%.
Dibawah ini saya mecoba membuat stimulasi bila memang terjadi efek dari Teori Surinc Passed pada Pilpres 2019.Â
Dan hasilnya  mungkin  seperti yang tampak pada table terakhr.  Sebagai sontoh hasil stimulasi,  saya ambil Hasil Survey Litbang Kompas yang saya asumsikan terdampak  oleh "Surinc Passed" sebesar 8%, maka Prediksi hasil Pilpres 2019 adalah : Jokowi-Maruf 48,81% dan Prabowo-Sandi  51,19%.
Angka akhir ini adalah angka hasil Stimulasi sesuai  table diatas.
Semoga teori Surinc Passed ini tidak terjadi di Pilpres 2019 karena  saya tidak tahu dan tidak bisa membayangkan  dampak besarnya  akan seperti apa.  Artikel ini dibuat hanya sebagai data evaluasi  kita semua agar Pilkada-pilkada berikutnya jangan sampai meleset hasil surveynya..  Â
Mohon maaf  sebelumnya bila ada perhitungan saya  diatas yang salah. Silahkan sanggah di kolom komentar. Terima kasih.
 Sekian.
Ralat utk Tabel terakhir. lembaga survey ke 5 tertulis Indikator. seharusnya Polmark. tq.
Artikel 2014 :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H