Mohon tunggu...
Rully Novrianto
Rully Novrianto Mohon Tunggu... Lainnya - A Man (XY) and A Mind Besides Itself

Kunjungi juga blog pribadi saya di www.rullyn.net

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelajaran Hidup dari Ayah

24 September 2024   12:26 Diperbarui: 24 September 2024   12:37 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AI generated image by Playground AI

"Mungkin kamu nggak sadar," katanya, kali ini suaranya lebih pelan.

"Dulu ayah juga persis seperti kamu. Penuh ambisi, ingin ini dan itu. Kakekmu sering bilang, 'Hidup jangan buru-buru. Dunia nggak kemana-mana.' Ayah waktu itu nggak terlalu memikirkan omongan kakekmu, tapi sekarang ayah paham. Hidup itu bukan soal siapa yang paling cepat sampai, tapi soal menikmati perjalanan."

Aku tersenyum kecil, mendengarkan kata-kata ayah yang menggema di pikiranku. "Jadi menurut Ayah, aku harus santai aja?"

"Bukan santai tanpa arah. Tapi jangan terlalu terobsesi dengan hasil akhir. Kamu perlu menikmati setiap langkah. Temukan ritme hidupmu sendiri," jelasnya.

Langit semakin gelap. Matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya, meninggalkan jejak-jejak sinar terakhir di atas pegunungan yang jauh. Kami duduk dalam diam sejenak, hanya ditemani suara angin dan burung yang mulai kembali ke sarangnya.

"Ayah dulu pernah menyesal buru-buru?" tanyaku akhirnya, ingin tahu lebih banyak tentang ayah di masa mudanya, sosok yang jarang dia ceritakan.

"Ya, pernah. Ayah pernah merasa harus punya segalanya di usia muda. Tapi ternyata, ada banyak hal yang ayah lewatkan. Waktu yang seharusnya ayah gunakan untuk menikmati hal-hal kecil, ayah abaikan. Sekarang ketika melihat kamu, ayah ingin kamu belajar dari itu," jawabnya dengan tatapan yang jauh.

Aku terdiam. Kata-kata ayah seperti membawa beban yang mendalam. Mungkin benar, aku terlalu fokus pada apa yang belum aku capai, tanpa menghargai apa yang sudah ada di depanku.

"Dengar, kamu masih muda. Jangan merasa harus tahu segalanya sekarang," lanjut ayah sambil menepuk bahuku pelan.

"Cinta, pekerjaan, mimpi... Semua itu akan datang pada waktunya. Tapi kalau kamu terus berlari tanpa berhenti untuk melihat sekeliling, kamu bisa saja kehilangan hal-hal terbaik."

Aku menoleh ke arahnya, dan untuk pertama kalinya malam itu, aku melihat wajah ayah dengan lebih jelas. Kerut di sekitar matanya, rambut yang mulai beruban, tapi tetap ada ketenangan di balik semua itu. Seolah dia sudah melalui badai yang sama, dan sekarang dia berdiri di ujung dengan damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun