"Kamu tahu, waktu kecil ayah juga sering duduk seperti ini, melihat matahari terbenam," kata ayah sambil menyeruput kopinya perlahan.
Aku menoleh sebentar, mendengarkan, tapi pandanganku segera kembali pada langit yang berubah warna, memercikkan oranye dan ungu di atas horizon.
"Dulu, kakekmu yang duduk di sebelah ayah. Dia selalu bilang hal yang sama, 'Santai saja. Jangan terburu-buru.'"
Aku diam saja. Rasanya tidak perlu menanggapi, apalagi aku tahu, ayah sering berbicara panjang saat matahari tenggelam. Mungkin ini cara dia berbagi nasihat tanpa terdengar menggurui.
Dia terus berbicara, tapi aku hanya mendengar sebagian. Kalimat-kalimatnya bercampur dengan angin yang menyapu lembut. Suaranya jadi latar belakang yang menenangkan.
"Terkadang, ayah merasa kamu terlalu cepat ingin dewasa. Kamu masih muda. Punya banyak waktu. Apa sih yang bikin kamu buru-buru?", lanjutnya.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Ayah, kadang aku merasa ada banyak hal yang harus aku kejar. Teman-teman sudah punya cita-cita besar. Aku... aku nggak mau ketinggalan."
Ayah tertawa kecil, suara tawa yang sama sejak aku kecil, renyah dan sedikit berat.
"Itu masalahnya, kamu terlalu banyak membandingkan. Kehidupan orang nggak sama, Nak. Temanmu bisa saja sudah punya rencana besar, tapi siapa yang tahu apakah mereka benar-benar yakin dengan itu?"
Aku berpikir sebentar, merenung apa maksud ayah. Rasanya tidak mudah berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Seiring bertambahnya usia, tekanan untuk 'mengejar sesuatu' terasa semakin nyata.