Fenomena di balik maraknya komedian Indonesia yang terjun berpolitik
Di pemilu kali ini kita juga banyak menemukan deretan komedian yang memilih terjun ke dunia politik sebagai caleg. Sebut saja Komeng, Bedu, Narji, Denny, Eko, Opie Kumis, dan Mongol.
Bisa jadi ini disebabkan tingginya popularitas atau elektabilitas para pelawak di mata masyarakat. Komeng contohnya, yang wajah dan suaranya mudah dikenali. Lelucon dan kelucuan yang mereka sajikan dianggap mampu menarik massa.
Selain itu, komedian biasanya dikenal memiliki kepiawaian berbicara dan retorika yang baik untuk menghibur penonton. Kemampuan inilah yang coba dijual sebagai modal untuk memenangkan hati konstituen di dunia politik yang penuh intrik.
Namun sayangnya, jika hanya mengandalkan popularitas dan kepandaian bicara itu tak cukup. Diperlukan visi misi serta kemampuan kepemimpinan dan politik untuk bersaing di dunia politik. Inilah yang kebanyakan komedian gagal penuhi hingga kandas di tengah jalan.
Sebagian publik bahkan melihat fenomena ini hanya sekadar memanfaatkan celah popularitas guna meraih keuntungan tertentu. Entah itu nama atau materi. Padahal politik bukanlah panggung hiburan semata yang bisa dipandang sebelah mata.
Mungkin mereka bisa berkaca atau terinspirasi dari kisah Jon Gnarr. Tetapi tantangannya tentu tidak mudah mengingat perbedaan karakteristik pemilih dan latar belakang sosial politik di Indonesia dan Islandia.
Sebagai penutup, menurut saya sejauh ini fenomena komedian berpolitik di Indonesia hanya menjadi selingan menarik perhatian publik tanpa memberi pengaruh signifikan.Â
Namun, ke depannya mungkin saja akan muncul sosok komedian yang benar-benar matang dan layak untuk mewakili suara rakyat dalam parlemen atau di pemerintahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H