Mohon tunggu...
Rully Novrianto
Rully Novrianto Mohon Tunggu... Lainnya - A Man (XY) and A Mind Besides Itself

Kunjungi juga blog pribadi saya di www.rullyn.net

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Komedian dan Politik, Hiburan Semata atau Suara Rakyat yang Terwakili?

20 Februari 2024   09:57 Diperbarui: 20 Februari 2024   14:04 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pelawak. (Sumber: Master1305 on Freepik)

Dunia politik dan komedi adalah dua hal yang berbeda, meskipun sekarang kita banyak melihat aksi politisi yang seperti komedi dan komedi yang dipolitisasi.

Fenomena komedian yang mencalonkan diri atau terjun ke dunia politik bukanlah hal baru. Sosok komedian atau pelawak yang kemudian ikut serta dalam pesta demokrasi kerap mencuri perhatian publik.

Sudah ada contoh nyata dimana seorang komedian diangkat menjadi pemimpin sebuah negara atau kota. Di luar negeri ada Jon Gnarr, mantan Walikota Reykjavik, Islandia yang menjabat dari 2010-2014. Kemudian ada Volodymyr Zelenskyy yang saat ini menjabat sebagai Presiden Ukraina sejak 2019. Lalu ada Jimmy Morales yang pernah menjabat Presiden Guatemala dari 2016-2020.

Kisah Jon Gnarr

Dalam sebuah wawancara di event 16th Yalta European Strategy (YES) Annual Meeting, Jon berbagi cerita mengenai pengalamannya ketika menjabat sebagai wali kota.

Motivasi Jon untuk beralih ke dunia politik muncul setelah krisis keuangan 2009 dengan mendirikan partai politiknya sendiri yang bernama "The Best Party". Dia mengakui bahwa janji-janjinya tidak selalu serius, tapi ia mampu menarik perhatian pemilih dengan janji-janji konyol.

Setelah terpilih, Jon menjadi wali kota yang bertanggung jawab atas administrasi kota. Padahal ia dan timnya, yang sebagian besar terdiri dari seniman dan musisi, tidak memiliki pengalaman politik sebelumnya.

Meskipun awalnya tidak terbiasa dengan pekerjaan politiknya, Jon berhasil membawa Reykjavik pulih dari krisis. Dia merancang anggaran tahunan untuk kota dan mengimplementasikan rencana induk untuk masa depan Reykjavik.

Saat menjabat, Jon tetap mempertahankan gaya komunikasi langsung dengan warga, bahkan menggunakan media sosial secara aktif.

Jon menekankan bahwa meskipun ia sering kali tidak menjanjikan sesuatu, ia berusaha untuk tetap jujur dan transparan dalam jabatannya sebagai walikota.

Setelah empat tahun menjabat, Jon memutuskan untuk mengakhiri karir politiknya. Ia membuktikan bahwa seorang komedian pun bisa sukses dalam politik dengan pendekatan yang jujur, transparan, dan berani.

Sumber: commons.wikimedia.org/Dontworry
Sumber: commons.wikimedia.org/Dontworry

Fenomena di balik maraknya komedian Indonesia yang terjun berpolitik

Di pemilu kali ini kita juga banyak menemukan deretan komedian yang memilih terjun ke dunia politik sebagai caleg. Sebut saja Komeng, Bedu, Narji, Denny, Eko, Opie Kumis, dan Mongol.

Bisa jadi ini disebabkan tingginya popularitas atau elektabilitas para pelawak di mata masyarakat. Komeng contohnya, yang wajah dan suaranya mudah dikenali. Lelucon dan kelucuan yang mereka sajikan dianggap mampu menarik massa.

Selain itu, komedian biasanya dikenal memiliki kepiawaian berbicara dan retorika yang baik untuk menghibur penonton. Kemampuan inilah yang coba dijual sebagai modal untuk memenangkan hati konstituen di dunia politik yang penuh intrik.

Namun sayangnya, jika hanya mengandalkan popularitas dan kepandaian bicara itu tak cukup. Diperlukan visi misi serta kemampuan kepemimpinan dan politik untuk bersaing di dunia politik. Inilah yang kebanyakan komedian gagal penuhi hingga kandas di tengah jalan.

Sebagian publik bahkan melihat fenomena ini hanya sekadar memanfaatkan celah popularitas guna meraih keuntungan tertentu. Entah itu nama atau materi. Padahal politik bukanlah panggung hiburan semata yang bisa dipandang sebelah mata.

Mungkin mereka bisa berkaca atau terinspirasi dari kisah Jon Gnarr. Tetapi tantangannya tentu tidak mudah mengingat perbedaan karakteristik pemilih dan latar belakang sosial politik di Indonesia dan Islandia.

Sebagai penutup, menurut saya sejauh ini fenomena komedian berpolitik di Indonesia hanya menjadi selingan menarik perhatian publik tanpa memberi pengaruh signifikan. 

Namun, ke depannya mungkin saja akan muncul sosok komedian yang benar-benar matang dan layak untuk mewakili suara rakyat dalam parlemen atau di pemerintahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun