Jadi karena ingin mulai nge-blog lagi inilah, akhirnya saya otomatis kembali menggunakan akun media sosial lainnya berupa twitter dan instagram yang sebelumnya terhitung sangat jarang saya gunakan sejak dibuat. Bayangkan saja, sejak saya punya akun twitter, mungkin kurang dari 10 kali saya mencuit, itupun beberapa karena saya mengcomplain mengenai layanan produk tertentu. Sedangkan instagram, akun ini saja dibuat oleh asisten saya di kantor dengan alasan dia perlu untuk men-tag nama saya di akun instagram program televisi yang saya buat (yang kemudian setelah beberapa minggu tag tadipun saya hilangkan, karena saya tidak mau orang terlalu banyak mengenal saya secara terbuka).
====
Terkait Viral, beberapa selebriti tanah air yang pernah saya percayakan memegang program yang saya ampu seringkali juga "curhat" (terutama jika mereka berharap terus dipercaya memegang program tadi, honor yang telat turun dari tv station, atau mohon bantuan buat push approval permohonan naik fee, hahahahaha kidiing !! managernya lah yang biasanya begitu). Kalau para selebriti ini biasanya cerita-cerita seputar kesehariannya, cita-citanya, dan "persaingan" di dunia yang teramat kejam ini :).
Selain seringkali menjadi "tong sampah" curhatan mereka tadi, kadang dalam menyikapinya saya merasa hal tadi itu lucu, aneh, bahkan kadang bikin saya rada marah, karena masa sih gara-gara urusan "receh" tadi program saya jadi rada tersendat karena harus re-take beberapa kali adegan, atau bahkan dipaksakan selesai walau hasil kurang maksimal (ya mau gimana lagi, mereka kuncinya, tapi malah "down" di hari itu).
Lalu, saya yang justru lebih sering hanya sebagai pendengar (beneran pendengar, karena tanpa komen, masukan balik, atau lainnya) ketika mereka bercerita, kali ini sepertinya "kena batu"nya, CUITAN TWITTER SAYA VIRAL !!!
====
Saya yang memang merasakan banjir di rumah sejak 1997 akhir ini, dulu merasa banjir ini sudah menjadi hal wajar...bahkan sangat wajar terkait memang budaya kita yang mendisiplinkan diri membuang sampah pada tempatnya sudah sulit untuk dirubah. Berbagai himbauan pemerintah, ceramah-ceramah agama, bahkan jargon-jargon yang dipasang di spanduk, papan-papan reklame, dll mengenai menjaga kebersihan lingkungan (terutama agar tidak terjadi banjir) merupakan hal biasa yang kita temui di keseharian kita.
Tahun 1997, pertama kalinya banjir menggenagi dalam rumah sekitar setinggi betis orang dewasa, yang setiap tahunnya bertambah dan bertambah tinggi, sampai puncaknya di tahun 2007 air menggenangi rumah setinggi pinggang orang dewasa dan begitu seterusnya, dengan waktu surut air sekitar 5-10 hari. Jadi, selama itu pula kami sekeluarga beraktifitas ke tempat kerja harus naik layanan jada "rakit" menuju lokasi yang kering setelah 2-3 hari kemudian.Â
Maklum, tempat tinggal kami memang dekat dengan kali dan tidak jauh dari laut, jadi memang kalau jakarta banjir, lokasi kami merupakan wilayah yang paling lama surut airnya (so, wajar yah kalau kami selalu "pasrah" setiap kali banjir). Itupun belum terhitung, jka banjir, segalam macam barang pasti lewat depan rumah, sampah plastik, kaleng-kaleng bekas, ban bekas, bathtub, bahkan kasur, betul-betul pemandangan biasa setiap tahun jika kami kebanjiran.
Tahun 2010-2012 merupakan tahun terburuk soal banjir, karena di tahun ini kami kebanjiran 2-4 kali tiap tahun. Saat itu kami makin hopeless, karena memang tidak ada pilihan lain, ini sudah "takdir" yang tidak bisa dilawan. Berkah hujan ternyata bisa menjadi bencana bila manusianya tidak disiplin dan mau merubah dirinya sendiri, pemerintah sudah berusaha maksimal, belum lagi lokasi banjir yang semakin banyak membuat hal ini makin menjadi hal yang sangat lumrah.