Mohon tunggu...
Ruki Setya
Ruki Setya Mohon Tunggu... Guru - momong anak-anak

menghabiskan waktu bersama anak-anak di kampung dengan bermain bola dan menulis untuk berbagi pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketikung Demit Stadion

20 Maret 2023   13:04 Diperbarui: 20 Maret 2023   13:07 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketikung Demit Stadion

 

Melongo..! Ya, aku hanya terdiam membisu. Tidak percaya menyaksikan apa yang telah terjadi.

Sekian hari, tepatnya dua minggu menyiapkan anak-anak untuk menghadapi pertandingan popda cabang sepak bola SD di tingkat kabupaten, mewakili tim kecamatan. Hasilnya tak sesuai ekspektasi. Kandas !!. Aku tidak percaya dengan hasil yang telah didapat oleh tim. Pertandingan yang telah kami tunggu akan berjalan dengan seru, ketat dan ngotot dengan tim lawan sama sekali tak muncul, tidak nampak, bahkan tak ada perlawanan. Anak-anak hanya menjadi bulan-bulanan tim lawan.

Tim kami bertanding dibawah perform. Pergerakan bola dari lini ke lini, tak ada, seperti yang diperagakan dalam latihan dan beberapa kali uji coba. Begitu lemahnya membangun serangan dari belakang, terobosan, overlap dan shooting pun beberapa kali membentur tiang gawang. Ketika striker kami bisa melewati beberapa lawan sehingga gawang lawan menjadi kosong, tinggal cocor bola saja, lho! 99,99 persen bola masuk ke gawang tapi bola malah menyamping. Sesuatu yg mustahil!! Sedangkan lawan begitu enjoy, pede bermain menguasai pertandingan. Setiap peluang terjadi gol. Yang pada akhir pertandingan selama empat puluh menit itu, kami harus  pulang dengan membawa sekarung gol (7 gol). Lumayan!!

Tak apa, mengingat tim besar seperti Manchester United, Barcelona, Madrid dan yang lainnya juga pernah kebobolan sebanyak itu. Apalagi kami yang hanya tim kecil, masih dalam belajar. Memang ada sedikit sesal, tapi tak malu, sebab kalah dalam suatu pertandingan bukan suatu yang nista dan hina. Juga tak harus marah ataupun mencari-cari siapa yang salah. Cuma aku bertanya-tanya.

Why? Kenapa bisa begitu? Apa yang sebenarnya terjadi dengan anak-anak?

Sejak awal memasuki stadion Krida, aku telah merasakan sesuatu yang tak nyaman. Sebut saja aneh dan  janggal. Tapi aku abai dengan itu. Sesuatu itu banyak aku rasakan, tapi aku belum menyadari sepenuhnya.

"Pak, perutku mules?" kata Irfan, pemain gelandang, sepuluh menit sebelum pertandingan dimulai.

" Kalau bisa ditahan, tahanlah, Nak!" kataku sambil menyuruhnya minum air secukupnya.

Kulihat wajah anak-anak yang tak seperti biasanya. Candaan renyah dari si Wildan yang bertubuh gempal dari tadi tidak juga mengalir di tengah-tengah suasana yang menurutku kurang rilek. Rudin yang suka jahil tidak juga beraksi. Wajah-wajah mereka begitu lesu, tak ada pancaran bara semangat ketika mereka sudah di tepi arena pertandingan, .

Dua puluh menit pertama, di sela turun minum, tujuh pemain yang bertanding itu bilang kalau tubuhnya lemas tak berdaya. Si Kiper juga omong kalau wajahnya ada sesuatu yang menerpa hingga pandangannya kabur bahkan gelap.

"Bolanya tidak kelihatan, mata saya gelap, Pak!" kata Rudin, si kiper

" Ah, paling kecipratan lumpur, coba lihat Din". Kulihat mata Rudin tak ada lumpur atau benda lainnya. Kemudian kusuruh ia membasuh dengan air.

Saat pertandingan itu memang kondisi lapangan jeblok karena malamnya dihantam hujan lebat hingga pagi hari  air masih menggenang di sebagian lapangan.

 

Babak kedua segera dimulai. Beberapa pemain harus dirotasi guna menggantikan pemain yang kurang fit. Sebelum memasuki lapangan, mereka kusarankan untuk membaca Al Fatihah dan memohon keselamatan kepada Allah.

Pendek cerita, wasit meniup peluit panjang tanda pertandingan berakhir, otomatis pertandingan dua kali dua puluh menit telah usai. Kami segera keluar lapangan atau stadion. Tak banyak kata, mulut kami bungkam, kepala tertunduk dengan membawa perasaan masing-masing.

Selepas pintu keluar stadion menuju tempat parkir (menuju tempat istirahat kami), kulihat wajah-wajah keceriaan dari anak-anak  mulai nampak. Di sana sudah banyak rekan-rekan yang menyambut dengan tetap memberi motivasi seperlunya. Kemudian,

" kita mainnya kapan,Pak?"  tanya Angga tiba-tiba, striker jangkung yang beberapa kali gagal menjebol gawang lawan itu.

Duaaar...! Terkaget-kaget aku dan yang lainnya atas pertanyaan Angga. Kami, semua official saling berpandangan mendengar itu.

Kuhampiri Angga, kupegang bahu kanannya, kupeluk dan kubisikkan;  "kita baru saja main Ngga, tak bisa lanjut ke babak berikutnya, pertandingan baru saja usai, Nak!"

"sadar ya, Nak!  baca istighfar!" lanjutku

Seketika pecahlah tangis Angga begitu juga anak lain. Mereka menangis sejadi-jadinya. Kami hanya pasrah dengan kondisi dan mencoba untuk menghibur anak-anak agar tetap tenang. Mencoba untuk memberi pemahaman bahwa yang telah terjadi, ya sudahlah. Kita jadikan sebagai pembelajaran dan pengalaman.

"kita boleh kalah  tapi tidak dengan cara seperti ini, Pak!" bela Angga dengan muka penuh air mata.

"sudahlah Nak, semua sudah terjadi, ayo kita makan!" ajak Ibu Guru Sekolahnya.

"kalian adalah juara di hati kami, bapak dan ibu guru dan orang tua kalian." timpal yang lain.

Sejenak kami terdiam. Di halaman parkir, di bawah pohon Trembesi yang rindang, kami mengisi perut yang dari tadi telah berontak. Sambil makan nasi kotak, obrolan-obrolan kecil muncul dari mereka bahwa tim kami sedang di tikung oleh makhluk lain ketika anak-anak akan memasuki pintu stadion. Sebegitunya? 

***

"Gendam?!"

Aku menghela nafas panjang. Aku pandangi ekspresi wajah mereka. Ada iba di hati. Mereka tak seharusnya mengalami hal seperti ini. Mereka adalah anak-anak yang harus tumbuh dan berkembang sewajarnya. Bermain dan bergembira. Konon, di usia dini adalah usia emas. Kita harus memberikan pengalaman nyata yang terbaik bagi tumbuh kembang anak. Tidak boleh keceriaannya terganggu, mencederai dengan hal-hal yang tak semestinya.

Apa yang aku rasakan sejak awal ternyata terbukti. Anak-anak bukan menjadi dirinya yang utuh. Ada pergerakan, ada kekuatan lain di luar dimensinya. Pantas saja cara anak-anak bermain seperti orang buta kehilangan tongkatnya. Bingung, tak tentu arah. Jiwa mereka dikuasai kekuatan entah apa itu. Sihirkah?

Hal-hal mistik, supranatural, sihir  atau apapun sejenisnya aku memang kurang paham dan tak berminat masuk ke putaran magisnya. Aku amatlah jauh dengan dunia supranatural. Segala urusan aku serahkan semua kepada Sang Khalik, Tuhan semesta alam. Dan aku percaya dengan kemampuan anak-anak. Seberapa kemampuannya aku apresiasi.

Dalam hal mengantar anak-anak di event sepak bola, aku tidak berusaha untuk mencari "doping", kekuatan lain dengan bantuan dukun. Tidak!! Meskipun praktik-praktik perdukunan di masyarakat begitu lazim dan masifnya. Bagiku mencapai tujuan atau kemenangan dengan bantuan dukun  itu sebuah prestasi yang semu.

"Jaga kami tetap pada jalan-Mu Ya Allah"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun