Mohon tunggu...
Ruki Setya
Ruki Setya Mohon Tunggu... Guru - momong anak-anak

menghabiskan waktu bersama anak-anak di kampung dengan bermain bola dan menulis untuk berbagi pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketikung Demit Stadion

20 Maret 2023   13:04 Diperbarui: 20 Maret 2023   13:07 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"sadar ya, Nak!  baca istighfar!" lanjutku

Seketika pecahlah tangis Angga begitu juga anak lain. Mereka menangis sejadi-jadinya. Kami hanya pasrah dengan kondisi dan mencoba untuk menghibur anak-anak agar tetap tenang. Mencoba untuk memberi pemahaman bahwa yang telah terjadi, ya sudahlah. Kita jadikan sebagai pembelajaran dan pengalaman.

"kita boleh kalah  tapi tidak dengan cara seperti ini, Pak!" bela Angga dengan muka penuh air mata.

"sudahlah Nak, semua sudah terjadi, ayo kita makan!" ajak Ibu Guru Sekolahnya.

"kalian adalah juara di hati kami, bapak dan ibu guru dan orang tua kalian." timpal yang lain.

Sejenak kami terdiam. Di halaman parkir, di bawah pohon Trembesi yang rindang, kami mengisi perut yang dari tadi telah berontak. Sambil makan nasi kotak, obrolan-obrolan kecil muncul dari mereka bahwa tim kami sedang di tikung oleh makhluk lain ketika anak-anak akan memasuki pintu stadion. Sebegitunya? 

***

"Gendam?!"

Aku menghela nafas panjang. Aku pandangi ekspresi wajah mereka. Ada iba di hati. Mereka tak seharusnya mengalami hal seperti ini. Mereka adalah anak-anak yang harus tumbuh dan berkembang sewajarnya. Bermain dan bergembira. Konon, di usia dini adalah usia emas. Kita harus memberikan pengalaman nyata yang terbaik bagi tumbuh kembang anak. Tidak boleh keceriaannya terganggu, mencederai dengan hal-hal yang tak semestinya.

Apa yang aku rasakan sejak awal ternyata terbukti. Anak-anak bukan menjadi dirinya yang utuh. Ada pergerakan, ada kekuatan lain di luar dimensinya. Pantas saja cara anak-anak bermain seperti orang buta kehilangan tongkatnya. Bingung, tak tentu arah. Jiwa mereka dikuasai kekuatan entah apa itu. Sihirkah?

Hal-hal mistik, supranatural, sihir  atau apapun sejenisnya aku memang kurang paham dan tak berminat masuk ke putaran magisnya. Aku amatlah jauh dengan dunia supranatural. Segala urusan aku serahkan semua kepada Sang Khalik, Tuhan semesta alam. Dan aku percaya dengan kemampuan anak-anak. Seberapa kemampuannya aku apresiasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun