Dua puluh menit pertama, di sela turun minum, tujuh pemain yang bertanding itu bilang kalau tubuhnya lemas tak berdaya. Si Kiper juga omong kalau wajahnya ada sesuatu yang menerpa hingga pandangannya kabur bahkan gelap.
"Bolanya tidak kelihatan, mata saya gelap, Pak!" kata Rudin, si kiper
" Ah, paling kecipratan lumpur, coba lihat Din". Kulihat mata Rudin tak ada lumpur atau benda lainnya. Kemudian kusuruh ia membasuh dengan air.
Saat pertandingan itu memang kondisi lapangan jeblok karena malamnya dihantam hujan lebat hingga pagi hari  air masih menggenang di sebagian lapangan.
Â
Babak kedua segera dimulai. Beberapa pemain harus dirotasi guna menggantikan pemain yang kurang fit. Sebelum memasuki lapangan, mereka kusarankan untuk membaca Al Fatihah dan memohon keselamatan kepada Allah.
Pendek cerita, wasit meniup peluit panjang tanda pertandingan berakhir, otomatis pertandingan dua kali dua puluh menit telah usai. Kami segera keluar lapangan atau stadion. Tak banyak kata, mulut kami bungkam, kepala tertunduk dengan membawa perasaan masing-masing.
Selepas pintu keluar stadion menuju tempat parkir (menuju tempat istirahat kami), kulihat wajah-wajah keceriaan dari anak-anak  mulai nampak. Di sana sudah banyak rekan-rekan yang menyambut dengan tetap memberi motivasi seperlunya. Kemudian,
" kita mainnya kapan,Pak?" Â tanya Angga tiba-tiba, striker jangkung yang beberapa kali gagal menjebol gawang lawan itu.
Duaaar...! Terkaget-kaget aku dan yang lainnya atas pertanyaan Angga. Kami, semua official saling berpandangan mendengar itu.
Kuhampiri Angga, kupegang bahu kanannya, kupeluk dan kubisikkan; Â "kita baru saja main Ngga, tak bisa lanjut ke babak berikutnya, pertandingan baru saja usai, Nak!"