"sadar ya, Nak! Â baca istighfar!" lanjutku
Seketika pecahlah tangis Angga begitu juga anak lain. Mereka menangis sejadi-jadinya. Kami hanya pasrah dengan kondisi dan mencoba untuk menghibur anak-anak agar tetap tenang. Mencoba untuk memberi pemahaman bahwa yang telah terjadi, ya sudahlah. Kita jadikan sebagai pembelajaran dan pengalaman.
"kita boleh kalah  tapi tidak dengan cara seperti ini, Pak!" bela Angga dengan muka penuh air mata.
"sudahlah Nak, semua sudah terjadi, ayo kita makan!" ajak Ibu Guru Sekolahnya.
"kalian adalah juara di hati kami, bapak dan ibu guru dan orang tua kalian." timpal yang lain.
Sejenak kami terdiam. Di halaman parkir, di bawah pohon Trembesi yang rindang, kami mengisi perut yang dari tadi telah berontak. Sambil makan nasi kotak, obrolan-obrolan kecil muncul dari mereka bahwa tim kami sedang di tikung oleh makhluk lain ketika anak-anak akan memasuki pintu stadion. Sebegitunya?Â
***
"Gendam?!"
Aku menghela nafas panjang. Aku pandangi ekspresi wajah mereka. Ada iba di hati. Mereka tak seharusnya mengalami hal seperti ini. Mereka adalah anak-anak yang harus tumbuh dan berkembang sewajarnya. Bermain dan bergembira. Konon, di usia dini adalah usia emas. Kita harus memberikan pengalaman nyata yang terbaik bagi tumbuh kembang anak. Tidak boleh keceriaannya terganggu, mencederai dengan hal-hal yang tak semestinya.
Apa yang aku rasakan sejak awal ternyata terbukti. Anak-anak bukan menjadi dirinya yang utuh. Ada pergerakan, ada kekuatan lain di luar dimensinya. Pantas saja cara anak-anak bermain seperti orang buta kehilangan tongkatnya. Bingung, tak tentu arah. Jiwa mereka dikuasai kekuatan entah apa itu. Sihirkah?
Hal-hal mistik, supranatural, sihir  atau apapun sejenisnya aku memang kurang paham dan tak berminat masuk ke putaran magisnya. Aku amatlah jauh dengan dunia supranatural. Segala urusan aku serahkan semua kepada Sang Khalik, Tuhan semesta alam. Dan aku percaya dengan kemampuan anak-anak. Seberapa kemampuannya aku apresiasi.