Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bukan Saja Sunda-Jawa, Mitos Larangan Menikah Juga Ada pada Suku Lainnya

23 Mei 2021   11:06 Diperbarui: 23 Mei 2021   11:25 1000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Anda pernah mendengar bahwa pernah adanya larangan menikah antara suku Sunda dengan suku Jawa?

Ada latar belakangnya mengapa terjadi demikian.

Namun ternyata bukan hanya antar kedua suku itu saja, pantangan menikah antar suku di Indonesia ini terjadi.

Data menyebutkan ada lebih dari 1340 suku bangsa dan 360 etnis yang ada di tanah air ini.

Selain antara Sunda dan Jawa, larangan menikah juga terjadi antara Sunda dan Minangkabau, juga antara Jawa dan Batak.

Larangan antara Sunda dan Jawa ini diakibatkan karena ambisi Maha Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit yang ingin menguasai seluruh wilayah Nusantara.

Pada masa Kerajaan Majapahit, pada waktu itu Prabu Hayam Wuruk tertarik dengan kecantikan Dyah Pitaloka, putri dari raja Sunda Linggabuana.

Hayam Wuruk mengirim utusan ke Kerajaan Sunda, yaitu Gajah Mada, untuk meminang Dyah Pitaloka kepada Linggabuana.

Gajah Mada meminta pernikahan dilangsungkan di Trowulan, ibukota Majapahit. Bukan di Sunda. Linggabuana menyetujuinya.

Dengan diiringi rakyat Sunda yang melepas keberangkatan Linggabuana, maka mulailah raja Sunda dengan dikawal sejumlah prajuritnya melakukan perjalanan jauh dari Sunda ke Trowulan.

Ketika rombongan Linggabuana tiba di wilayah Bubat, sekonyong-konyong muncul seseorang yang mengatakan bahwa dirinya adalah utusan Gajah Mada.

Utusan itu mengatakan agar Dyah Pitaloka diserahkan saja sebagai tanda takluk.

Tak pelak perkataan itu membuat emosi rombongan Sunda naik pitam. Mereka jauh-jauh datang dari Sunda untuk menikah secara baik-baik. Bukan menyerahkan begitu saja Dyah Pitaloka sebagai tanda takluk.

Sebenarnya Linggabuana masih dapat menahan emosinya, akan tetapi salah seorang pengawalnya tiba-tiba melepaskan panah yang menembus utusan tadi, sampai tubuhnya terguling-guling di tanah.

Seketika itu maka terjadilah perang terbuka antara pasukan Gajah Mada dengan para prajurit Sunda.

Peristiwa ini lantas dikenal sebagai Perang Bubat.

Gajah Mada nampaknya sudah menyiapkan pasukannya di sekitar lapangan Bubat tanpa sepengetahuan Hayam Wuruk.

Personel dan peralatan perang yang tidak seimbang antara Gajah Mada dan Sunda, membuat Sunda mengalami kekalahan besar.

Bahkan Linggabuana, para menteri, dan para pejabat Sunda lainnya yang ikut dalam rombongan tewas.

Namun masih ada seorang pejabat Sunda yang masih hidup yang bernama Pitar. Pitar lantas memberitahu peristiwa itu kepada permaisuri dan putri Dyah Pitaloka.

Tak tahan menanggung kesedihan, maka permaisuri dan putri Dyah Pitaloka memutuskan untuk bela pati (bunuh diri) di atas jenazah Linggabuana.

Hayam Wuruk sangat menyesal pada apa yang terjadi. Untuk menghormati, maka rombongan Linggabuana yang gugur dimakamkan secara militer. 

Hayam Wuruk lantas mengirimkan utusan dari Bali untuk meminta maaf kepada plt raja Sunda atas apa yang terjadi.

Sejak itu hubungan antara Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi tegang.

Seperti diketahui, pada saat itu Gajah Mada sudah menaklukkan hampir seluruh wilayah Nusantara, cuma satu yang belum yaitu Kerajaan Sunda.

Niskala Wastu Kencana, adik dari Dyah Pitaloka, yang saat itu masih kecil, lalu diangkat menjadi raja di Kerajaan Sunda menggantikan ayahnya. Karena masih kecil, pada saat itu Niskala Wastu Kencana masih dalam bimbingan pamannya.

Beranjak dewasa, Wastu Kencana lantas dikenal sebagai Prabu Siliwangi yang legendaris.

Prabu Siliwangi lantas mengeluarkan larangan menikah yang disebut dengan estri ti luaran (isteri dari luar). Larangan itu lalu diartikan sebagai larangan menikah antara orang Sunda dengan orang Jawa. 

Siliwangi juga memutus hubungan diplomatik dengan Majapahit.

Konon, jika larangan itu dilanggar, maka rumah tangga mereka tidak akan berlangsung lama.

Larangan antara Sunda dengan Minang 

Ini dikarenakan suku Minang itu menganut sistem matrilineal. Dimana ibulah yang berperan sebagai kepala keluarga. Hal tersebut jelas sangat berbeda dengan orang Sunda yang menganut patrilineal.

Orang Sunda dikenal suka berfoya-foya, sementara orang Minang dikenal pelit. Jika larangan itu dilanggar, maka dipercaya itu akan mendatangkan masalah nantinya.

Larangan antara Suku Batak dan Jawa

Jika larangan ini dilanggar, maka dipercaya nantinya akan mendatangkan masalah.

Ini dikarenakan orang Batak memilki sifat yang keras dan dominan, sedangkan orang Jawa sebaliknya, penurut dan submisif.

Hal tersebut akan menyebabkan adanya "penindasan" dalam rumah tangga.

Perbedaan agama juga akan menyebabkan masalah. Suku Batak saat ini bukan hanya beragama Kristen, tapi Islam juga ada. Demikian pula sebaliknya, Jawa bukan semata-mata Islam, Kristen juga ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun