Perempuan pribumi harus setara dengan kaum lelaki. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, kaum perempuan Jawa saat itu didiskriminasi.
Perempuan dilarang sekolah tinggi-tinggi. Buat apa sekolah tinggi-tinggi, toh pada akhirnya perempuan hanya di dapur atau pendamping suami saja?
Perempuan hanya boleh belajar ilmu rumah. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda juga sangat membatasi perempuan pribumi dalam hal pekerjaan.
Di masa akil balig perempuan harus tinggal di rumah dan dipingit.
Kartini yang gemar membaca dan menulis itu dalam perjalanannya kemudian mendirikan sekolah untuk masyarakat umum bertempat di serambi dan halaman belakang pendopo.
Anak ke 5 dari 11 bersaudara keturunan bangsawan Jawa ini memang sosok yang sangat antusias dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Ayahnya adalah seorang bupati di Jepara yang bernama Raden Mas Sosroningrat dan ibunya adalah M.A. Ngasirah. Kakek Kartini dari ibunya adalah seorang guru agama di Jepara.
Kartini memang sosok yang cerdas. Demikian Sedangkan kakek dari ayahnya, Pangeran Ario Tjondronegoro juga sosok yang cerdas. Pangeran Ario Tjondronegoro bahkan diangkat menjadi bupati dalam usia muda yaitu 25 tahun.
Kakak Kartini, Sosroklartono juga dikenal sangat cerdas. Salah satunya, Sosrokartono bahkan begitu menguasai beberapa bahasa.
Sangat disayangkan memang. Kartini yang gemar membaca dan menulis itu hanya diperbolehkan orangtuanya menuntut ilmu sampai tingkat sekolah dasar. Kartini harus dipingit.
Dalam keadaan seperti itu, Kartini masih sempat mendirikan sekolah di Semarang, yang dinamakan Sekolah Kartini pada tahun 1912.