Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuak untuk Ritual dan Wujud Kegembiraan, Sejak Kapan Ada di Indonesia?

4 April 2021   10:05 Diperbarui: 4 April 2021   10:10 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Minum tuak (beritabojonegoro.com)


Keberadaan minuman beralkohol sempat menjadi trending topic belakangan ini. RUU Minol yang diajukan sejumlah fraksi di DPR sampai saat ini masih mangkrak dan belum disahkan menjadi UU.

Hal tersebut dikarenakan RUU tersebut ada juga yang menentangnya. Jika RUU itu disahkan maka akan berdampak merugikan kepada hilangnya mata pencaharian di sejumlah bidang yang terkait, misalnya pariwisata, perhotelan, dan para produsen Minol tradisional.

Presiden Jokowi juga terpaksa mencabut kembali Perpres Nomor 10 Tahun 2021 yang ditandatangani Presiden awal Pebruari, yang mendorong digalakkannya investasi Minol karena akan mengakibatkan sejumlah masalah bagi yang mengonsumsinya.

Kebiasaan "mabuk-mabukan" itu ternyata sudah dikenal masyarakat Indonesia sejak jaman dulu. Dalam cerita silat di sana terlihat seorang tokoh atau pendekar yang senang minum tuak sebagai kenikmatan. "Pendekar Mabuk".

Menarik disimak, sejak kapan kah atau sudah berapa lama Indonesia mengenal tradisi minum alkohol atau Minol tradisional atau tuak ini?

Dalam naskah Nagarakertagama yang ditulis pada tahun 1365 Masehi ada disebut-sebut bahwa tuak atau alkohol ini disajikan dalam acara ritual tertentu.

Dalam prasasti Pangumulan yang ditemukan di Jogja disebutkan jika minuman alkohol tradisional Indonesia yang disebut tuak dikonsumsi sebagai bentuk kegembiraan dalam upacara penetapan tanah perdikan.

Dalam prasasti kuno peninggalan Kerajaan Hindu-Buddha itu disebutkan jika tuak , minuman berfermentasi yang sudah menjadi produk kebudayaan lokal semenjak dahulu kala.

Baram, Minol tradisional di Kalimantan Tengah disajikan sebagai sesajen dalam upacara Tiwah. Upacara Tiwah ini bertujuan untuk mengantarkan roh manusia ke tempat yang semestinya di alam lain.

Demikian pula, Minol tradisional dalam berbagai nama masing-masing di daerah lainnya di Indonesia, selain dipakai sebagai wujud kegembiraan, juga dipakai dalam acara ritual tertentu.

Beberapa pengamat mengatakan selain merasakan kenikmatan saat mengonsumsinya, alkohol juga dapat menimbulkan kreativitas dan daya imajinasi seseorang pada masa dulu itu.

Barangkali mereka saat itu belum mengetahui benar pada dampak samping alkohol itu untuk kesehatan.

Sejumlah ormas Islam mengapreasiasi dicabutnya kembali Perpres No 10 2021 itu, di antaranya dari MUI, PBNU, dan Muhamadiyah.

Miras menurut mereka dapat merusak generasi bangsa, mengijinkan investasi Miras sama saja dengan mengijinkan peredaran barang haram tersebut.

Miras cukup mudah ditemui di restoran atau cafe-cafe. Mayoritas Muslim menolak untuk mengonsumsinya, tapi ada juga yang ingin coba-coba.

Miras diharamkan karena sifatnya yang memabukkan. Namun ada Minol yang menyehatkan dan tidak memabukkan.

Di antaranya adalah bir pletok dan bir Jawa.

Keduanya mempunyai khasiat yang serupa yaitu mengusir masuk angin, menghilangkan capek, dan menghangatkan badan.

Disebut bir pletok, karena bir daerah Betawi ini bunyinya pletok-pletok jika wadahnya dikocok.

Ide dari lahirnya bir pletok ini bermula ketika para bangsawan Betawi melihat orang-orang Belanda mempunyai bir yang dapat menghangatkan badan. 

Maka dari itu, para bangsawan itu mendorong masyarakat Betawi untuk berinovasi membuat sendiri bir yang menyehatkan yang bahannya asli dari tanah Si Pitung ini. Terkait warnanya, bir pletok ini sama dengan bir orang-orang Eropa yaitu merah segar, namun tanpa alkohol.

Sedangkan bir Jawa lahir semula dari gagasan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Pada saat itu, Sri Sultan melihat orang-orang Belanda mempunyai Java Bier yang diproduksi untuk pertama kalinya di Surabaya pada tahun 1929.

Java Bier itu mengandung kadar alkohol sebesar 7,9 % dan dikonsumsi oleh orang-orang Belanda, para bangsawan pribumi, kalangan elit, pejabat militer, juga orang-orang Eropa.

Sri Sultan melihat para priyayi atau bangsawan Jawa itu mayoritas beragama Islam yang mengharamkan alkohol.

Atas Ilham dari sana, Sri Sultan ingin membuat bir yang menyehatkan serta menghangatkan badan. Maka lahirlah bir Jawa yang menyehatkan dan tanpa alkohol.

Pada awal-awalnya, bir Jawa tanpa alkohol itu dikonsumsi oleh kaum bangsawan, raja-raja Jawa, dan kaum priyayi. Namun seiring perjalanan waktu, bir Jawa yang menghangatkan badan itu mulai dikonsumsi semua kalangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun