Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Inspiratif Mantan Bos Besar yang Jadi Penjual Es Cincau

1 Juni 2020   10:03 Diperbarui: 1 Juni 2020   10:25 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasanuddin (aceh.tribunnews.com)

Ada pepatah yang mengatakan kehidupan ini seperti roda yang berputar. Kadang posisi kita di atas, kadang pula di bawah.

Sebuah video berdurasi 16 menit tentang itu sudah menyedot banyak perhatian warganet.

"Dulu di Jakarta hidup saya sejahtera, punya rumah, punya mobil," kata Hasanuddin yang kini berusia 65 tahun.

Lewat YouTube Hasanuddin mengenang kisah hidupnya, dulu di ibukota, dia adalah seorang General Manager di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang hiburan, gajinya saat itu tidak kurang dari Rp 100 juta per bulannya.

Tapi pepatah roda kehidupan diterapkan juga kepada Hasanuddin.

Dengan tubuhnya yang sudah tua, Hasanuddin kini sehari-hari menjajakan es nanas dan es cincau hasil buatannya sendiri.

Hasanuddin yang memeluk agama Islam sejak 22 tahun itu memilih pindah ke Sukabumi, Jawa Barat, sesudah memutuskan meninggalkan ibukota.

Diketahui harta Hasanuddin mulai menipis diakibatkan teman-temannya yang mengutang.

Krisis keuangan itu berdampak percekcokan dengan istrinya yang pada akhirnya mereka bercerai.

Hasanuddin menikah lagi dengan seorang perempuan, tapi kandas karena hartanya ludes.

Sekian lama "luntang-lantung" hati Hasanuddin tertambat lagi kepada seorang perempuan. Si tambatan hati memberi syarat, jika mau menikah dengannya, Hasanuddin yang ketika itu berusia 43 tahun, harus memeluk agama Islam.

Setelah mualaf tersebut, dia pun memulai hidup baru bersama tambatan hatinya di Sukabumi.

Di kota dingin yang terletak sekitar 120 kilometer selatan Jakarta itu, Hasanuddin mengayuh sebuah gerobak berbentuk seperti becak yang dipedalnya berkeliling kota Sukabumi.

Segelas es nanas atau es cincau yang dijualnya dihargai Rp 5.000,-.

"Untuk mendapatkan Rp 100.000 saja sekarang susah, tak jarang saya kekurangan uang," tuturnya.

Pria tua itu kadang mangkal di dekat kampus Universitas Muhammadiyah Sukabumi, lalu berkeliling dari daerah Degung ke Cikole dan seterusnya.

Sejak diunggah pada Januari tahun ini, tayangan video Hasanuddin sudah dilihat lebih dari 2,4 juta kali.

Para warganet pun bereaksi, banyak yang memberi semangat, memuji, dan tidak sedikit pula yang mengatakan mengalami hal yang sama.

Meski kini segalanya terbatas, namun Hasanuddin berulang kali mengucapkan syukur serta keadaan ini dianggapnya lebih baik ketimbang saat dia banyak harta dulu.

Dia tetap bersemangat berjualan es cincau dan es nanas.

Hasrat ingin tahu lebih banyak tentang apa itu roda kehidupan, saya mencoba berselancar di dunia maya.

Saya temukan artikel di Kompasiana Beyond Blogging tulisan saudara Bintang S  yang berjudul "Roda Kehidupan".

Menurut Bintang, roda yang dimaksud dalam "roda kehidupan" itu ibarat roda sepeda. Untuk membentuk sebuah roda yang kokoh, maka komponen-komponen yang yang membentuk roda sepeda itu harus saling mendukung dan berkaitan satu sama lain, sehingga apabila berputar menjadi mantap. Tidak rusak serta memuaskan.

Begitu juga dengan roda kehidupan. Komponen-komponen yang membentuk roda kehidupan itu harus saling mendukung dan berkaitan satu sama lain. Komponen-komponen yang dimaksud adalah prinsip hidup, keimanan, dan jati diri.

Bintang mengisahkan ketika penghasilannya menjadi minim selama tiga tahun. Namun kini Bintang dan keluarganya sudah melewati masa itu.

Harmonis dan kekompakan bersama keluarga menjadi kunci keberhasilan mengatasi masa-masa sulit di kehidupan.

Ada pengalaman yang berkesan seperti yang diceritakan. 

Ketika itu Hasanuddin membutuhkan uang Rp 300.000 untuk membelikan anaknya sepatu baru.

Kebetulan saat itu dagangannya sepi, cincau tidak ada yang membeli hingga menjadi rusak. Tapi ketika itu ada seseorang yang keukeuh ingin membeli jualannya.

Si pembeli mengeluarkan dan memberikan uang pas Rp 300.000 kepada Hasanuddin, suatu hal yang tidak disangka sama sekali.

"Saya sedih dan bersyukur, uang Rp 300.000 itu tepat seperti yang saya butuhkan untuk membeli sepatu. Dulu saya dapat gaji Rp 100 juta, Allah tolong saya, saya sangat bersyukur,", kisahnya.

Kejadian-kejadian seperti itulah yang membuat Hasanuddin berulang kali bersyukur dan hidup tenang.

Mendengar kisah inspiratif ini saya jadi teringat lagu "Panggung Sandiwara" yang populer dibawakan oleh Ahmad Albar.

Dunia ini panggung sandiwara

Ceritanya mudah berubah

Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura

Kisah Mahabharata atau tragedi dari Yunani

Mengapa kita bersandiwara?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun