Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

WHO Desak Indonesia Setop Klorokuin, BUMN: Kami Ikut Kemenkes

28 Mei 2020   09:14 Diperbarui: 28 Mei 2020   10:07 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuci tangan (cnnindonesia.com)

Media daring, Rabu (27/5/2020) melaporkan WHO (World Health Organization)  meminta Indonesia untuk menghentikan penggunaan klorokuin sebagai obat korona.

Sebelumnya Organisasi Kesehatan Dunia itu juga sudah menyetop ujicoba obat malaria untuk pasien korona karena ada efek sampingnya yang membahayakan.

Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan itu pada Senin (25/5/2020) setelah melihat hasil penelitian yang dimuat dalam The Lancet, ternyata hydroquinone dapat menyebabkan gangguan irama jantung bahkan kematian.

Termasuk Indonesia, Tedros mengatakan ratusan rumah sakit di seluruh dunia sudah menguji pasien korona dengan obat itu.

Indonesia bahkan sudah menggunakan obat tersebut sejak Maret lalu untuk mengobati pasien korona dengan gejala berat maupun ringan.

Padahal Indonesia sudah memesan tiga juta obat itu dan diproduksi oleh Kimia Farma.

"Data menunjukkan dengan yakin di seluruh dunia, kombinasi obat ini tidak mempunyai bukti bermanfaat," kata Mandeep Mehra, Direktur Brigham and Women's Heart and Vascular Center sekaligus Kepala Uji Klinis ini.

Studi tersebut dilakukan kepada lebih dari 96.000 pasien virus Covid-19 dari 671 rumah sakit di seluruh dunia.

Hasilnya, satu dari enam pasien yang menggunakan obat klorokuin atau hydroquinone meninggal, sedangkan yang meninggal dengan tidak menggunakan klorokuin atau hydroquinone itu ada 11 pasien.

Pasien yang meninggal karena mengonsumsi klorokuin sebesar 16,4 persen, yang mengonsumsi hidroklorokuin 18 persen, sedangkan yang tidak mengonsumsi klorokuin dan hidroklorokuin 9 persen.

Bahkan klorokuin dan hidroklorokuin yang dikombinasikan dengan antibiotik tingkat kematiannya lebih tinggi.

Obat tersebut memang aman untuk pasien malaria, arthritis, atau lupus, tapi tidak ada bukti sukses ujicoba obat itu untuk virus korona.

Itu berarti risiko meninggal pada pasien Covid-19 yang menggunakan obat malaria itu lebih tinggi.

Studi lain yang dimuat di Journal of The American Medical Association juga menunjukkan hal serupa, obat itu memiliki efek samping gangguan irama jantung atau aritmia dan tidak dapat digunakan untuk melawan virus korona.

Menurut detik.com, badan-badan yang terkait, yakni BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) serta Kementerian Kesehatan RI belum bisa dihubungi untuk dimintai komentarnya.

Erlina Burhan, seorang anggota Asosiasi Pulmonologi Indonesia yang juga seorang dokter yang bertugas menyusun pedoman pengobatan virus Covid-19 menginformasikan bahwa Indonesia sudah menerima saran Organisasi Kesehatan Dunia itu untuk menghentikan penggunaan hydrochloroquine.

Kepada Reuters, Burhan mengatakan masih ada perselisihan. "Kami masih membahas masalah, kami belum mempunyai kesimpulan,".

Presiden Amerika Serikat Donald Trump beberapa waktu lalu sengit mempromosikan obat (didukung saluran televisi Fox News) yang digunakan untuk malaria itu, bahkan Trump juga mengakui mengonsumsinya.

Di Gedung Putih, Trump mengatakan dia meminum obat itu sudah satu setengah minggu.

Ketika ditanyakan apakah ada bukti kalau obat itu bermanfaat. 

Trump mengatakan, "Buktinya saya, saya memperoleh banyak kabar positif tentangnya,".

Bukan itu saja, Trump bahkan menyanjung obat tersebut, Trump mengatakan para tenaga medis yang bekerja di garda terdepan banyak meminum obat itu.

"Saya juga meminumnya," lanjut Trump.

Dr Rick Bright yang menentang "keanehan" Trump dimutasikan jabatannya sebagai Direktur BARDA di National Institute of Health.

Senada dengan penelitian yang sudah disebutkan di atas, FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS) juga menyatakan obat itu tidak efektif dan tidak aman, FDA juga mensinyalir laporan-laporan hasil penelitian di atas bahwa obat itu dapat berefek samping gangguan irama jantung atau aritmia.

Beberapa waktu lalu, klorokuin memang sudah menjadi "obat yang dicari" untuk memulihkan pasien korona. 

Koresponden Kesehatan BBC James Gallagher waktu itu mengatakan ada bukti klorokuin dapat membantu dimana obat yang terkenal murah dan mudah diproduksi itu sebelumnya digunakan untuk mengobati malaria serta dapat mengurangi peradangan dan demam.

Akan tetapi saat itu WHO mengatakan belum ada uji klinis yang lengkap apakah benar berfaedah untuk pasien korona. Ujicoba klinis pun sudah dilakukan di Spanyol, Inggris, Amerika Serikat, dan Cina.

"Belum ada bukti definitif terhadap efektivitas obat ini," jelas WHO.

Senada dengan WHO, Direktur Jaringan Kesehatan Global Universitas Oxford, Profesor Trudie Lang, mengatakan saat itu memang diperlukan uji coba klinis untuk memastikan obat itu efektif atau bagaimana.

Nah, melihat laporan yang dimuat di jurnal medis The Lancet yang teranyar seperti disebutkan di atas, WHO bergerak cepat dengan mendesak Indonesia untuk menghentikan obat malaria itu sebagai penyembuh korona demi keamanan.

"Kemenkes yang menentukan obat apa yang dapat dipakai dan mana yang tidak, kami ikut apa kata Kemenkes," kata Arya Sinulingga, Stafsus Menteri BUMN, Rabu (27/5/2020) menanggapi desakan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun