"Saya juga meminumnya," lanjut Trump.
Dr Rick Bright yang menentang "keanehan" Trump dimutasikan jabatannya sebagai Direktur BARDA di National Institute of Health.
Senada dengan penelitian yang sudah disebutkan di atas, FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS) juga menyatakan obat itu tidak efektif dan tidak aman, FDA juga mensinyalir laporan-laporan hasil penelitian di atas bahwa obat itu dapat berefek samping gangguan irama jantung atau aritmia.
Beberapa waktu lalu, klorokuin memang sudah menjadi "obat yang dicari" untuk memulihkan pasien korona.Â
Koresponden Kesehatan BBC James Gallagher waktu itu mengatakan ada bukti klorokuin dapat membantu dimana obat yang terkenal murah dan mudah diproduksi itu sebelumnya digunakan untuk mengobati malaria serta dapat mengurangi peradangan dan demam.
Akan tetapi saat itu WHO mengatakan belum ada uji klinis yang lengkap apakah benar berfaedah untuk pasien korona. Ujicoba klinis pun sudah dilakukan di Spanyol, Inggris, Amerika Serikat, dan Cina.
"Belum ada bukti definitif terhadap efektivitas obat ini," jelas WHO.
Senada dengan WHO, Direktur Jaringan Kesehatan Global Universitas Oxford, Profesor Trudie Lang, mengatakan saat itu memang diperlukan uji coba klinis untuk memastikan obat itu efektif atau bagaimana.
Nah, melihat laporan yang dimuat di jurnal medis The Lancet yang teranyar seperti disebutkan di atas, WHO bergerak cepat dengan mendesak Indonesia untuk menghentikan obat malaria itu sebagai penyembuh korona demi keamanan.
"Kemenkes yang menentukan obat apa yang dapat dipakai dan mana yang tidak, kami ikut apa kata Kemenkes," kata Arya Sinulingga, Stafsus Menteri BUMN, Rabu (27/5/2020) menanggapi desakan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H