"Yang bisa bertahan hingga akhir Lebaran nantinya cuma tinggal sedikit," kata Rizal.
Bukan saja berimbas mengerikan kepada industri tekstil dan TPT, gempuran korona juga menggelapkan awan mendung kepada para karyawannya.
Mau tau mau, pabrik tidak punya cash flow, menurut Rizal, sebanyak 1,89 juta pekerja akan dirumahkan, alias di PHK. Jumlah sebanyak itu merupakan 70 persennya dari keseluruhan tenaga kerja di TPT yang berjumlah 2,7 juta orang.
Rizal mengeluhkan, di saat pemasukan tertekan karena tidak bisa menjual barang. Tapi kewajiban pengeluaran tetap harus dipenuhi. Seperti bayar listrik, bunga kredit Bank, biaya tenaga kerja, atau bayar iuran BPJS.
"Itu yang terjadi sekarang ini. Cash flow tidak ada, tapi kewajiban berjalan terus," ungkapnya.
Lalu apakah dengan adanya pembatasan social distancing yang tengah "nge-tren" saat ini, industri tekstil tidak mengalihkan saja produksinya ke pembuatan masker dan APD (Alat Pelindung Diri)?
Rizal menjelaskan, hanya 3 persen saja dari 2.500 industri garmen menengah dan besar di Indonesia yang mampu beralih memproduksi masker dan APD.
"Secara nasional tidak signifikan mendongkrak industri tekstil, apalagi tidak semua pabrik garmen bisa memproduksi masker dan APD," tutur Rizal.
Untuk menyelamatkan, menurut Rizal, API telah melakukan berbagai upaya yang dilakukan, di antaranya meminta meringankan kredit Bank dan pembayaran listrik.
API meminta kewajiban membayar listrik yang selama ini dihitung dengan tarif minimum  dapat dihapuskan selama masa korona.
API meminta stimulus lain kepada pemerintah. Menurut Rizal, API selama ini sudah berkirim surat kepada BUMN, Menko, menteri-menteri, PLN, bahkan kepada Bapak Presiden untuk menghapuskan beban yang dibayar minimum.