Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tak Beli Pakaian Baru, Industri Tekstil Paling Tertampar Akibat Larangan Mudik

27 April 2020   08:34 Diperbarui: 27 April 2020   08:33 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Dalam hukum ekonomi yang pernah saya pelajari menyebutkan, harga-harga barang atau jasa akan naik seiring dengan permintaan akan barang atau jasa itu yang meningkat.

Seperti tahun-tahun lalu, memasuki bulan Ramadhan dan Idul Fitri, permintaan barang-barang atau jasa-jasa, teristimewa yang berbahan tekstil melonjak drastis ketimbang hari-hari biasanya.

Keuntungan pun setidaknya diraih para pedagang rantai tekstil tersebut, mulai dari toko pakaian, distributor, sampai kepada pabrik tekstil nya.

Untuk memutus mata rantai penularan virus korona, pemerintah akhirnya memberlakukan larangan mudik mulai berlaku 24 April 2020.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tak pelak, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sangat terpukul dengan dikeluarkannya larangan mudik lewat keputusan Bapak Presiden itu.

Sebagai ganti berkerumun yang dilarang, halal bihalal atau silaturahmi Idul Fitri tahun ini dianjurkan agar lewat video call atau media sosial saja.

Industri tekstil mendapat tamparan keras, karena tahun ini mereka tidak dapat merengkuh pemasukan yang semestinya sudah "gol".

"Pasar sudah sepi jauh-jauh hari," kata Rizal Tanzil Rakhman, Sekretaris Eksekutif API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia), Sabtu (25/4/2020).

Diamini Rizal, serangan korona kali ini dampaknya lebih parah daripada krisis moneter tahun 1998.

Akibat produksi anjlok sampai 70 persen, mengakibatkan pabrik-pabrik tekstil kehilangan pemasukan, padahal biaya-biaya pabrik tersebut sangat besar harus ditanggung setiap bulannya.

Anjloknya 70 persen tersebut berarti minus 4,6 juta ton dari produksi sebelum adanya pandemi. Ibaratnya mesin produksi itu 100, maka mesin itu sekarang hanya 30 yang berjalan. Bahkan menurut Rizal banyak juga yang sudah tutup total.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun