Setiap hari, berton-ton partikel debu semesta menumbuk permukaan Bumi. Mengapa kita tidak pernah menemukan mereka di tempat-tempat publik yang terbuka, seperti lapangan parkir, trotoar, Â dan bangku taman? Lihatlah lebih cermat.
Sekelompok ilmuwan internasional membuat dobrakan yang mengguncang dunia sains.
Mereka mengklaim bahwa sesungguhnya genteng dan atap bangunan, bersama berbagai benda lain di ruang terbuka, menampung kumpulan partikel debu ekstraterestrial. Klaim ini bertentangan dengan kelompok ilmuwan lain yang menganggap gagasan itu sekedar mitos urban.
Uniknya, pimpinan tim ilmuwan yang membuat klaim tersebut adalah seorang amatir yang mengabdikan waktunya untuk mengumpulkan bukti bagi para skeptik. Namanya Jon Larsen, 58 tahun, musisi jazz ternama di Norwegia yang telah menghabiskan delapan tahun hidupnya dalam perburuan benda ekstraterestrial.
Larsen, yang juga menjadi salah satu penulis hasil penelitian yang baru-baru ini diterbitkan di Geology, jurnal bulanan milik Geological Society of America, merasa perburuannya setimpal. Ia berhasil menciptakan penemuan yang signifikan: buku penuh foto menakjubkan, bak galeri pameran bagi "tamu" dari luar angkasa.
Buku tersebut, diberi judul In Search of Stardust: Amazing Micro Meteorities and Their Terrestrial Imposters dan diluncurkan pada Agustus 2017, membeberkan rahasia perburuan Larsen yang sangat sukses.
Buku berisi 150 halaman dan 1.500 foto mikrograf (foto yang diambil melalui mikroskop) tersebut mengisahkan perjalanan Larsen dalam membedakan debu kosmik dari partikel kecil yang berasal dari jalan, pabrik, area pembangunan, insulasi rumah, dan kembang api.
Seperti ia tulis dalam bukunya, "Untuk menemukan satu partikel ekstraterestrial di antara miliaran partikel lain, dibutuhkan pengetahuan tentang apa yang ingin dicari dan apa yang perlu disingkirkan."
Partikel ekstraterestrial mewakili bagian terkecil dari hujan kosmik yang telah menghantam planet Bumi selama miliaran tahun. Pengamat langit malam yang teliti kerap menangkap peristiwa "bintang jatuh" - potongan-potongan kecil batu ekstraterestrial yang meluncur menembus lapisan atmosfer Bumi, sering kali terbakar habis.
Potongan yang terbesar bisa menghantam tanah, beberapa di antaranya bahkan menubruk Bumi cukup keras untuk membentuk kawah. Pada 2013, sebuah batu yang relatif kecil meledak di atas kota Chelyabinsk, Rusia, melepaskan gelombang kejut yang mencederai ratusan orang, terutama akibat pecahan kaca jendela-jendela yang beterbangan.
Namun, ini hanya mewakili sebagian kecil dari hujan kosmik yang lebih sering terjadi. Menurut para ilmuwan, sebagian besar materi kosmik sangatlah kecil, lebih kecil dari lebar sehelai rambut manusia.
Sebenarnya, debu-debu ini tersusun atas sisa-sisa kelahiran tata surya, termasuk komet dan asteroid yang lahir dari bertahun-tahun benturan antara planet dan bebatuan besar. Beberapa mengandung butiran materi dari luar tata surya.
Selama ini, para ilmuwan biasanya menemukan mikrometeorit di Antartika, gurun-gurun terpencil, dan sejumlah lokasi lain yang jauh dari hiruk-pikuk peradaban. Pada 1950-an, para peneliti berusaha menemukan partikel ini di perkotaan, tapi akhirnya menyerah karena wilayah urban telah terkontaminasi oleh berbagai ulah manusia.
Dalam mencari mikrometeorit, para ilmuwan tersebut cenderung menyasar jejak kimia, bukan tampilan secara keseluruhan. Di sinilah Larsen melihat peluang.
Matthew J. Genge, rekan peneliti Larsen sekaligus associate professor ilmu bumi dan planet di Imperial College London, memanfaatkan elektron mikropob di Natural History Museum Inggris untuk menentukan kandungan kimia dalam batu-batu temuan Larsen dan mengukuhkan sumbernya.
Genge mengatakan bahwa secara keseluruhan, butir-butir debu yang berhasil menerobos atmosfer dan mendarat di permukaan Bumi ternyata berjumlah lebih dari 4.000 ton per tahun, atau lebih dari 10 ton per hari.
Donald E. Brownlee, astronom di University of Washington, menjuluki Larsen sebagai ilmuwan amatir sejati yang membantu perburuan global terhadap butir-butir alam semesta.
"Bayangkan seluruh permukaan mobil Anda tertutup debu kosmik," kata Brownlee. "Kita menghirup debu-debu ini sehari-hari, meski mereka tampaknya sangat sulit ditemukan."
Larsen memulai Project Stardust saat masih menjadi musisi jazz di Norwegia. Seperti dikisahkan oleh Larsen, ketika masih kecil, ia adalah kolektor batu yang antusias, tetapi ia juga sangat berbakat sebagai musisi. Ia kemudian memilih untuk menyingkirkan ambisi ilmiahnya.
Pada 2009, di sebuah rumah di pedesaan luar Oslo, ia sedang membersihkan meja di depan rumah ketika sebuah butiran berpendar menangkap perhatiannya.
Larsen menyentuh butiran itu. Bentuknya bersudut, seperti logam, tapi sangat kecil. Rasanya seperti memegang sebuah titik kecil. Larsen yang penasaran menduga bahwa itu adalah "pengunjung" dari luar angkasa, dan ia mulai mencari lebih jauh.
Selain Oslo, Larsen mengumpulkan butiran partikel dari kota-kota di seluruh dunia. Ia pun menjadi ilmuwan amatir di malam hari, saat berlibur, atau melakukan tur bersama grup jazz-nya. Ia mengumpulkan butir-butir dari jalanan, atap, tempat parkir, dan area industri.
Dalam upayanya mengkoleksi butiran berharga itu, Larsen mengumpulkan ratusan kilo sampah, seperti lumpur dari selokan dan sampah peradaban yang akan dihindari oleh kebanyakan orang. Tetapi, ia tidak menemukan satu pun mikrometeorit.
Nyaris frustasi, Larsen mengubah taktik. Alih-alih mencari batu kosmik, ia belajar mengelompokkan lusinan jenis pencemar Bumi. Ia memulai proses seleksi yang perlahan mempersempit kandidat dan meningkatkan peluang bahwa bongkahan kecil dari sampah urban itu berasal dari luar angkasa.
Terobosan datang dua tahun lalu. Di London, Genge mempelajari salah satu partikel yang telah diambil dari Norwegia, dan mengonfirmasi bahwa butiran itu datang dari angkasa luar.
Tim ilmuwan yang terdiri dari Genge, Martin D. Suttle dari Imperial College, dan Matthias Van Ginneken dari Universite Libre di Brussels, lantas mengidentifikasi 500 batu lain yang dikumpulkan Larsen sebagai mikrometeorit. Sebagian besar batu-batu ekstraterestrial itu didapat Larsen dari talang-talang atap rumah di Norwegia.
Usia batu-batu semesta itu tergolong muda, karena talang air biasanya dibersihkan secara teratur. Selain itu, wilayah urban adalah pendatang baru di Bumi bila dibandingkan dengan dataran kutub dan gurun purba.
Menurut Larsen, mengumpulkan batu luar angkasa dapat dilakukan oleh siapa pun, bahkan seharusnya menjadi bagian dari pelajaran sains di sekolah. Genge sepakat bahwa jika teknik Larsen diadopsi luas, perspektif baru terhadap alam semesta akan terbuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H