Selain Oslo, Larsen mengumpulkan butiran partikel dari kota-kota di seluruh dunia. Ia pun menjadi ilmuwan amatir di malam hari, saat berlibur, atau melakukan tur bersama grup jazz-nya. Ia mengumpulkan butir-butir dari jalanan, atap, tempat parkir, dan area industri.
Dalam upayanya mengkoleksi butiran berharga itu, Larsen mengumpulkan ratusan kilo sampah, seperti lumpur dari selokan dan sampah peradaban yang akan dihindari oleh kebanyakan orang. Tetapi, ia tidak menemukan satu pun mikrometeorit.
Nyaris frustasi, Larsen mengubah taktik. Alih-alih mencari batu kosmik, ia belajar mengelompokkan lusinan jenis pencemar Bumi. Ia memulai proses seleksi yang perlahan mempersempit kandidat dan meningkatkan peluang bahwa bongkahan kecil dari sampah urban itu berasal dari luar angkasa.
Terobosan datang dua tahun lalu. Di London, Genge mempelajari salah satu partikel yang telah diambil dari Norwegia, dan mengonfirmasi bahwa butiran itu datang dari angkasa luar.
Tim ilmuwan yang terdiri dari Genge, Martin D. Suttle dari Imperial College, dan Matthias Van Ginneken dari Universite Libre di Brussels, lantas mengidentifikasi 500 batu lain yang dikumpulkan Larsen sebagai mikrometeorit. Sebagian besar batu-batu ekstraterestrial itu didapat Larsen dari talang-talang atap rumah di Norwegia.
Usia batu-batu semesta itu tergolong muda, karena talang air biasanya dibersihkan secara teratur. Selain itu, wilayah urban adalah pendatang baru di Bumi bila dibandingkan dengan dataran kutub dan gurun purba.
Menurut Larsen, mengumpulkan batu luar angkasa dapat dilakukan oleh siapa pun, bahkan seharusnya menjadi bagian dari pelajaran sains di sekolah. Genge sepakat bahwa jika teknik Larsen diadopsi luas, perspektif baru terhadap alam semesta akan terbuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H