"Hubungan gue dan Mama nggak bisa dibilang baik. Dia adalah wanita yang perfeksionis. Apa pun yang gue lakukan di matanya selalu salah. Itulah salah satu alasannya. Sudah satu bulan, rasanya gue mulai merindukan mereka. Tapi gue takut balik ke rumah itu."
"Seburuk apa pun hubungan sama Mama lo, setidaknya harus ada yang mengalah. Langkah awal memang selalu sulit. Tapi setidaknya lo udah berusaha, nggak lari dari rumah kayak gini. Ini mah kekanak-kanakan. Orangtua lo pasti khawatir."
Matanya menerawang, memandang jajaran awan sore yang terlihat indah di balkon toko. Aku tahu Boy mulai memikirkan perkataanku.
"Menurut gue, lo harus mengalah dulu. Kesampingkan ego lo dulu. Kali aja dari situ lo bisa tahu apa sih penyebab Mama lo bertengkar terus," lanjutku.
"Lo harus bersyukur masih diberikan orangtua yang masih hidup. Sedangkan gue, Mama meninggal ketika gue masih kecil. Pas gue umur lima tahun."
Aku meraih gelas jusku. Meminum isinya untuk menutupi kecangggunganku. Boy memandangku dengan tatapan hangatnya. Bahkan, kami terdiam beberapa menit.
"Maaf ya, Ci. Gue mengingatkan lo sama mendiang Mama lo..."
"Nggak apa. Sekarang gue udah ikhlas, kok. Kalau gue rindu Mama, biasanya gue pergi ke makamnya. Selain mendoakan Mama, gue juga menceritakan apa pun yang menjadi beban di hati gue. Setelah itu rasanya hati ini lega. Terkadang, gue merasa Mama masih ada di samping gue."
Boy tersenyum. Tampaknya ia terharu mendengar ceritaku.
Tak terasa sudah dua minggu berselang sejak pertemuanku dengan Boy di balkon.
Aku masih suka mencuri pandang ke jalanan dekat toko Ayah. Mencari-cari sosok Boy. Aku ingin mencari tahu bagaimana keadaannya.