"Hahaha... nggaklah, Ci. Walaupun gue berandalan gini, toko bakalan gue jagain kok. Soalnya gue suka toko ini. Banyak alat musik. Terutama gitar. Alat musik favorit gue." Boy menjelaskan dengan mata yang berbinar-binar. Aku hanya tersenyum memandangnya.
"Oiya... gue pulang dulu, ya. Sekali lagi makasih udah ngerepotin tadi. Daah... Ci." Boy melangkah ke arah pintu keluar sambil melambaikan tangannya. Aku pun tersenyum dan membalas lambaian tangannya.
Itu adalah pertemuan pertama kami. Ada sesuatu yang kurasakan tentang Boy. Dengan hanya menatap mata hitam yang tajam itu, aku merasa ada kehangatan di sana.Â
Angin dingin malam menerpa wajahku. Aku merapatkan sweater biru tua yang kukenakan untuk mengurangi hawa dingin yang mulai merasuk ke tulang.
Sepertinya akan hujan. Bulan terlihat muram malam ini. Terlihat syahdu. Aku memandang ke luar jendela. Terlihat lalu-lalang mobil, motor, dan orang-orang yang berlomba menerjang padatnya kemacetan di kota Jakarta. Berusaha segera sampai di tujuan masing-masing.
Aku menunggu di perpustakaan kampus. Menunggu redanya kemacetan. Aku tidak ingin terjebak macet di jalan terlalu lama.
Ayah menelepon, memintaku untuk membantunya di toko. Beliau akan meeting dengan pihak yang akan mensponsori workshop musik di toko kami.
Aku menyanggupinya, dengan catatan setelah pulang kuliah. Berharap juga semoga aku bisa bertemu Boy lagi. Entahlah, aku penasaran dengan kisah hidupnya.
"Gue sebenarnya kabur dari rumah. Di sana seperti neraka. Papa dan Mama hampir tiap hari bertengkar. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Terkadang masalah sepele bisa jadi ribut besar. Kuliah gue berantakan. Nilai-nilai gue turun drastis," Boy menceritakan kisah hidupnya dengan agak canggung.
"Gue susah konsentrasi dengan adanya teriakan-teriakan dari pertengkaran itu. Hingga pada satu titik, gue mulai jenuh dan ingin perubahan. Tahu-tahu gue sudah ada di sini, di jalanan."Â
"Kenapa nggak coba ajak bicara Mama lo dulu? Siapa tahu ada yang bisa diperbaiki. Lo hanya perlu mendengarkan."Â