Kadang ... aku ingin menangis. Apalagi kalau ingat bagaimana kerasnya usaha bapak untuk menyekolahkanku.
"Jenny, pokoknya kamu harus kuliah! Kamu itu anak yang pintar. Bapak tahu itu. Sudahlah, kamu tenang saja. Bapak pasti akan usahakan buat kamu. Biar kamu bisa jadi orang."
Sebenarnya, aku ingin membantah perkataan bapak. Aku sudah bilang, aku tak mau kuliah. Tapi bapak bersikeras.Â
Aku tahu keadaanku pas-pasan. Ibu sudah meninggal setelah melahirkanku. Betapa tidak adilnya dunia ini. Aku bahkan tak pernah tahu bagaimana rupa ibuku.
Kadang ... aku berpikir, apakah aku harus menangis bila aku berhasil diterima di Perguruan Tinggi Swasta ini. Universitas tempat anak orang berada.
Aku masuk universitas ini karena diajak Claudia, sahabat baikku. Iseng-iseng, aku mendaftar lewat jalur PMDK dan aku diterima di grade A. Lagi pula, aku tidak diterima di universitas negeri.
Aku memilih Fakultas Hukum, sama seperti Claudia, sahabatku. Anak pengusaha properti kaya raya yang dulu hidupnya pas-pasan.
Sekarang, Claudia menjadi gadis kaya yang cantik dan juga modis. Gadis yang selalu menyetir mobil buatan Jepang, selalu memakai baju-baju branded, dengan credit card yang berjejer di dompetnya.
Kadang ... kuakui aku suka membandingkan diriku dengan Claudia.
Apa aku salah? Dulu, waktu SMP kami bagaikan saudara senasib sepenanggungan. Tak ada yang mau berteman dengan kami. Bahkan, kami dulu diejek sebagai "Duet Kere" oleh teman-teman di SMP.
Kami sama-sama orang miskin yang selalu memakai sepatu butut, yang selalu jalan kaki setiap pergi dan pulang sekolah, dan yang suka kelaparan karena tak ada uang saku untuk jajan di kantin.