Bulan puasa dan Lebaran tercatat memiliki lembaran sejarah tersendiri bagi Pangeran Diponegoro.
Seperti diketahui Pangeran Diponegoro yang dimaksud adalah salah satu pahlawan legendaris Nusantara yang berasal dari Yogyakarta.
Pangeran Diponegoro sangat populer dalam sejarah, siapa pula yang tak kenal dari pangeran yang memiliki nama asli Bendara Pangeran Harya Dipanegara ini.
Namanya diplot sebagai nama jalan, Universitas, Kodam (Komando Distrik Militer), gedung-gedung di seluruh Indonesia, dan sebagainya.
Bahkan Perang Diponegoro atau disebut juga dengan Perang Jawa yang berlangsung antara tahun 1825-1830 melawan Belanda itu merupakan perang terdahsyat yang memakan korban paling banyak di antara perang lainnya yang terjadi di Nusantara.
Perang Jawa atau Java Oorlog itu dinamai oleh seorang sejarawan Belanda. Hal itu dikarenakan Pangeran Diponegoro merupakan musuh Belanda yang paling ditakuti dan paling sulit ditaklukkan. Bahkan membuat keuangan Belanda kolaps.
Perang ini menghabiskan dana sebesar 25 juta gulden, lebih dari 8 ribu korban tentara Belanda, 7 ribu pribumi dan 200 ribu penduduk Jawa.
Pada momen Ramadhan 1245 Hijriah (1830 Masehi) sejatinya Pangeran Diponegoro ingin jeda atau beristirahat dari peperangan melawan Belanda.
Hal tersebut disampaikan Pangeran kelahiran Yogyakarta, 11 Nopember 1795 itu kepada Jenderal De Cock, perwira perang Belanda.
Namun Jenderal De Cock bermuka manis ingin tetap peperangan terus berlanjut kendati di bulan Ramadhan.
Oleh karenanya De Cock memberikan seekor kuda pilihan untuk Pangeran Diponegoro dan uang sejumlah 10.000 gulden untuk biaya para pengikutnya selama bulan Ramadhan.
Mengenai tantangan dari De Cock itu, seorang penulis tentang Diponegoro, Peter Carey, menyebutkan bahkan De Cock mengijinkan anggota keluarga Diponegoro yang menjadi tawanan di Semarang dan Yogyakarta untuk berkumpul di Magelang bertemu dengan Diponegoro.
Catatan, Peter Carey adalah seorang sejarawan asal Inggris yang mengkhususkan dirinya mempelajari dan menulis terutamanya sejarah modern Indonesia.
Khususnya di Jawa dan Timor Timur.
Konsentrasinya di Jawa adalah mempelajari Pangeran Diponegoro.
Selama 30 tahun lamanya Peter Carey mempelajari Diponegoro dan membuat sejumlah buku tentangnya seperti "The Life Prince Diponegoro of Yogyakarta".
"The Power of Prophecy", dan sebagainya.
1 Ramadhan 1245 Hijriah pada waktu itu jatuh pada tanggal 25 Pebruari 1830 Â perhitungan Masehi.
Ya, masa-masa Ramadhan itu sangat ingin digunakan Pangeran Diponegoro untuk beristirahat. Bahkan sang pangeran pada saat itu sempat mendapatkan perawatan karena gejala malaria nya kambuh.
Belanda mulai merasakan satu-satunya cara mengakhiri perang dan menaklukkan Diponegoro adalah dengan menangkap sang pangeran.
Oleh karenanya Belanda mengadakan sayembara yang berhadiah 20 ribu gulden kepada siapa saja yang dapat mengindikasikan dan memberi kemudahan untuk menangkap sang pangeran.
Setelah mengetahui keberadaan sang pangeran, De Cock memerintahkan bawahannya kolonel Cleerens untuk mendekati sang pangeran dan mengajak berunding.
Cleerens yang bersikap manis dan seolah-olah hendak berbuat baik kepada sang pangeran rupanya itu hanyalah tipuan belaka.
Cleerens datang dengan sikap seolah-olah ingin bersilaturahmi dengan sang pangeran di Hari Raya IdulFitri.
Pangeran Diponegoro akhirnya menyediakan diri datang ke tempat perundingan pada tanggal 28 Maret 1830 atau pada hari kedua Lebaran.
Entah sadar atau tidak, atau mengetahui dirinya dijebak, namun niat pihak Belanda untuk bersilaturahmi itu hanyalah tipuan belaka. Diponegoro ditangkap!
Setelah ditangkap, Diponegoro diasingkan ke Menado, Sulawesi Utara, dan dipindahkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, hingga akhirnya Pangeran Diponegoro wafat pada 8 Januari 1855 dalam usianya yang ke 60.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H