Selain hilangnya esensi hubungan sosial, Iva juga menyoroti perilaku yang kurang bijak di media sosial yang membuat hilangnya tata krama sosial. Misalnya, kini tampaknya tak ada lagi perasaan saling menjaga perbedaan pilihan politik maupun agama. Orang tak lagi mempertimbangkan bahwa pendapatnya di media sosial akan dibaca oleh orang yang berbeda pandangan dan prinsip.
"Akibatnya, tata krama sosial pun sekarang ini sulit sekali diajarkan kepada anak-anak," tukas Iva. "Caci maki, ungkapan kasar, hingga bully tanpa disadari telah turut andil dalam proses tumbuh kembang anak di masa kini. Anak-anak kita sudah terbentuk tanpa tata krama sosial."
Iva mengingatkan bahwa terlalu banyak yang harus dikorbankan dari perilaku tak bijak di media sosial. Orangtua dan guru seharusnya memikirkan bahwa salah satu model pendidikan yang harus diterapkan pada anak adalah etika dan tata krama di dunia maya dengan bijak menggunakan sosial media.
Umumnya, unggahan yang sering menjadi pemicu kemarahan atau bahkan konflik adalah unggahan yang mengincar sisi emosi pembaca. Dan tulisan seperti demikian akan rentan untuk membuat pembaca tidak kritis.
"Siapa pun bisa menjadi kurang atau tidak bijak dalam mengunggah sesuatu di media sosial yang memicu emosi tersebut. Namun, kemungkinan terbesar individu yang melakukan hal ini adalah yang tidak memiliki sikap kritis dan perilaku pembaca yang kurang," tegas Raymond.
Memang, kemudian dalam mengakses media sosial, baik lewat ponsel pintar, tablet, maupun komputer, membuat media sosial saat ini dapat dengan mudah masuk sebagai bagian dalam keseharian seseorang
 Akibatnya, peluang untuk mempengaruhi sikap seseorang tentu menjadi lebih besar.
Karena medianya berbentuk tulisan maupun video, maka pikiran dan emosi akan menjadi dua hal yang dapat dipengaruhi. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang lebih banyak mengandalkan sisi emosi, tulisan dan video dapat lebih menimbulkan pengaruh yang lebih besar.
Nah, jika sisi emosi sudah terpengaruh, kemungkinan besar sisi kognitif akan terpengaruh juga. Dan jika yang terakhir ini terjadi, besar peluang orang tersebut untuk ikut terpengaruh.
Terkadang, mungkin si penulis sekedar membuat unggahan berupa menuliskan kesehariannya atau berbagi pendapat tanpa bermaksud buruk. Namun, yang selalu dilupakan adalah bahwa penulis tidak dapat mengontrol persepsi pembaca. Setiap pembaca dapat membuat persepsi yang berbeda-beda terhadap tulisan yang dilihat.
Meski demikian, tak tertutup kemungkinan ada pihak-pihak yang dengan sengaja melakukan provokasi melalui media sosial untuk kepentingannya sepihak atau untuk membentuk persepsi negatif pembaca terhadap sesuatu.