Mohon tunggu...
Rudy Wiryadi
Rudy Wiryadi Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

pelangidipagihari.blogspot.com seindahcahayarembulan.blogspot.com sinarigelap.blogspot.com eaglebirds.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Teliti Terlebih Dahulu Topik yang Hendak Kita Tulis

5 Juli 2017   10:50 Diperbarui: 5 Juli 2017   15:16 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah pengguna Internet dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dengan 30 persen dari total penduduk tercatat sebagai pengguna media sosial aktif. Sudahkah jumlah yang sebesar ini menggunakan media sosial dengan bijak?

Bayangkan bahwa Anda sudah diterima di sebuah universitas ternama yang lama Anda incar. Masa depan nan cerah membentang di hadapan Anda. Tapi, Anda lantas menerima kabar bahwa tempat Anda dicabut ... hanya gara-gara status Facebook!

Ini sungguh terjadi baru-baru ini. Harvard University yang elite dan tersohor itu mencabut penerimaan 10 calon mahasiswa karena aktivitas mereka di Facebook menunjukkan perilaku rasis. Harvard pun membatalkan tawaran tempat bagi calon mahasiswa itu karena menganggap "kedewasaan dan karakter moral" mereka patut dipertanyakan.

Ini hanya satu contoh dari konsekuensi perilaku yang tak bijak saat bermedia sosial. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan bagaimana unggahan yang bersifat sensitif, kontroversial, atau bernada provokasi di media sosial kemudian menjadi bumerang yang merugikan si pengunggah.

Mengapa ini terjadi?

Menurut analisis Raymond Godwin, S.Psi., staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara, fenomena ini timbul akibat penggunaan media sosial yang tidak bertanggung jawab dan tidak didasari sikap kritis dalam menulis maupun membaca.

"Unggahan di media sosial dapat ditulis oleh siapapun. Di media konvensional, tulisan yang dapat dimuat adalah tulisan seseorang yang sudah terlebih dahulu dicek kepakarannya. Di media sosial, siapapun yang memiliki akun bisa menulis apapun yang ia pikirkan," jelas Raymond.

Selain itu, lanjut Raymond, tulisan di media sosial dapat diakses dan disebarkan secara mudah oleh siapa saja. Di satu sisi, kebebasan dalam menulis ditambah kemudahan penyebaran menjadi nilai tambah media sosial dibandingkan media konvensional. Di sisi lain, ketiadaan tahap penyaringan, baik dari media sosial sendiri maupun si penulis, membuat isi tulisan rentan untuk diragukan kebenarannya.

Gawatnya, di negara kita ini diperparah dengan faktor rendahnya minat baca maupun sikap kritis dalam membaca, sehingga membuat seseorang tidak mengecek kembali kebenaran dari unggahan yang ia temukan di media sosial. Inilah yang kemudian berpotensi membuat tulisan di media sosial dapat berakibat negatif.

Sementara itu, DR. Ade Iva Wicaksono, S.Si., M.Si., Dekan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, menyoroti perilaku di dunia maya yang berujung pada hilangnya esensi hubungan sosial, terutama melalui unggahan yang tidak bertanggung jawab.

"Media sosial memang menjadi alat komunikasi yang menghubungkan antar pribadi. Namun, di sisi lain, media sosial juga menjadi panggung untuk orang-orang tertentu memamerkan sesuatu yang dimiliki ataupun aktivitas yang dilakukan, bahkan juga mengunggah hal atau pendapat yang memicu kontroversi maupun provokasi," papar Iva.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun