Penipuan berkedok investasi bodong yang viral akhir-akhir ini bukanlah hal yang baru, setiap tahun terus berulang, namun demikian masyarakat tetap saja banyak yang terperdaya dan tertipu dengan trik penipuan yang sama, yang didasarkan pada skema ponzi.
Dalam acara Talkshow "Menelusuri Jejak Binary Option dan Robot Trading Ilegal, Menjerat Pelaku Penipuan", DR. Tongam Lumban Tobing SH. LLM, Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK, menyampaikan bahwa total kerugian yang dialami oleh masyarakat karena tertipu investasi ilegal selama periode 2011-2021 mencapai 117,4 triliun rupiah.
Total kerugian tersebut bila diinvestasikan ke proyek jalan tol dapat digunakan untuk membangun jalan Tol Jakarta-Cirebon. Menurut pengusaha jalan tol, Jusuf Hamka untuk membangun satu kilometer jalan tol yang landed dibutuhkan biaya antara Rp500 sampai Rp700 miliar dengan kurs saat ini.
Bila diasumsikan biaya pembangunan jalan tol sebesar 500 miliar per kilometer (2011-2021) maka kerugian masyarakat karena tertipu investasi bodong sebesar 117,4 triliun dapat digunakan untuk membangun jalan tol sepanjang 235 Km, lebih jauh dari tol Jakarta-Cirebon yang panjangnya "hanya" Â 189 Km.
Menurut data tersebut hampir setiap tahun selama satu dekade belakangan ini selalu terjadi kasus yang hampir sama, penipuan berkedok investasi bodong. Ini artinya masyarakat tidak kapok-kapok dan tidak mau belajar dari pengalaman sebelumnya meskipun itu pengalaman orang lain.
Dari data dari Kementerian Keuangan, indeks literasi finansial masyarakat saat ini hanya sebesar 38,03% dari target Kemenkeu sebesar 90%. Lebih spesifik lagi indeks literasi pasar modal atau investasi sangat rendah hanya 4,92% dengan demikian pemahaman masyarakat mengenai investasi yang benar dan sehat memang masih sangat kurang.
Sebenarnya bukan hanya indeks literasi pasar modal yang minim yang menyebabkan masyarakat mudah tertipu oleh tawaran investasi bodong namun juga karena lihainya para affiliator dan broker nakal atau bandar dalam memainkan sisi psikologis manusia.
Sisi psikologis yang dimainkan oleh para affiliator dan bandar adalah sifat serakah (greedy) dan selalu merasa tidak cukup. Selain itu sisi psikologis lain seperti FOMO (Fear Of Missing Out) atau perasaan takut telah melewatkan kesempatan emas dalam hidupnya yaitu tawaran investasi dari para affiliator yang ternyata bodong.
Kasus penipuan berkedok investasi bodong bukan hanya menimpa masyarakat negara berkembang seperti Indonesia yang memang masih rendah indeks literasi keuangannya namun di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa kasus seperti ini juga bisa terjadi.
Sebagai contoh pada tahun 2008 masyarakat Amerika Serikat dikejutkan dengan kasus penipuan dengan skema ponzi yang dilakukan oleh Bernard Madoff melalui Investment Securities LLC.
Pada kasus ini ada sekitar 5000 investor yang mengalami kerugian akibat investasi bodong dengan skema ponzi yang dilakukan oleh Bernard Madoff dengan total kerugian mencapai US$ 65 miliar atau setara dengan Rp 929,5 triliun (kurs Rp 14.300/US$). Ini merupakan penipuan berkedok investasi bodong terbesar di Amerika Serikat.
Setelah kontroversi tersebut terbuka ke ranah publik di akhir tahun 2008, SEC (Securities and Exchange Commission) selaku regulator pasar modal dan investasi di Amerika Serikat memburu skema Ponzi lainnya dan memperketat regulasinya.
Untuk mengantisipasi kasus serupa, SEC mewajibkan aturan keterbukaan keuangan dan informasi penting tentang perusahaan penerbit saham dan sekuriti yang dapat diakses oleh investor dan diawasi secara ketat oleh SEC.
Untuk mewujudkan hal di atas SEC membuat suatu database yang dapat diakses secara online yang diberi nama EDGAR (the Electronic Data Gathering, Analysis, and Retrieval system) di mana para investor dapat mengakses semua informasi yang dimiliki oleh SEC.
Di negara kita memang belum ada database semacam EDGAR yang ada di Amerika Serikat, sehingga sejauh ini tindakan yang dilakukan oleh regulator adalah dengan memblokir situs atau platform yang menggunakan skema serupa dengan skema ponzi.
Meskipun sudah diblokir situs atau platform yang terindikasi skema ponzi tersebut masih bisa diakses melalui jaringan VPN. Selain itu Sebagian besar situs atau platform yang bermasalah baru diblokir setelah ada banyak laporan mengenai kerugian yang dialami para investor yang kehilangan uangnya.
Selain itu modus dan metode penipuan berkedok investasi juga sangat beragam mulai dari platform binary option, trading forex dengan menjual robot atau ebook, investasi bagi hasil sektor riil dan penawaran produk atau jasa dengan harga yang sangat murah.
Masing-masing modus di atas membutuhkan aturan yang berbeda-beda untuk mengatur dan mengawasi para pelaku atau penyedia platform agar tidak merugikan para investor.
1. Platform binary option
Platform trading binary option sesungguhnya bukan skema investasi melainkan lebih mirip dengan praktik perjudian. Di Inggris (United Kingdom) opsi binari ini diregulasi oleh komisi perjudian UK (Gambling Commission) bukan Financial Conduct Authority (FCA) sebagai regulator keuangan.
Platform binary option seperti ini banyak yang beroperasi secara ilegal di Indonesia. Platform ini biasanya menawarkan 'investasi' yang berupa tebak-tebakan dengan pilihan harga akan naik atau turun. Jelas ini praktik perjudian dan bukan investasi.
Modus dari opsi binari ini adalah anggota baru atau investor memberikan uang kepada "manajer portofolio" yang menjanjikan pengembalian yang tinggi yang sebenarnya akan dibayar dengan dana masuk yang diberikan oleh investor berikutnya.
2. Trading forex menggunakan Robot
Modus dari robot trading adalah penyedia platform menjual robot trading atau ebook mengenai cara menggunakan robot trading dan robotnya dipinjami atau boleh dipakai secara gratis.
Biasanya robot trading ini hanya bisa digunakan di platform tertentu dan ini menandakan bahwa ini penipuan karena pada dasarnya robot trading hanyalah sebuah algoritma atau hanya sebuah tool yang mestinya dapat dipakai di semua platform.
Selain itu penggunaan robot trading sebagai tool atau alat harus ditunjang dengan pengetahuan mengenai fundamental ekonomi dan kebijakan finansial suatu negara yang dalam hal ini tidak pernah disinggung sama sekali oleh penyedia atau penjual robot.
Kasus robot trading terbaru adalah DNA Pro dan Milionaire Prime yang telah menimbulkan kerugian miliaran rupiah bagi para investornya. Kasus juga telah menyeret sejumlah nama artis ternama karena telah menerima aliran dana dari penyedia platform ini.
Karena modusnya jual beli robot trading atau ebook maka robot maka dalam hal ini yang mengawasi dan mengatur kegiatan DNA Pro dan Milionaire Prime bukan OJK melainkan Kementerian Perdagangan. Rupanya penyedia atau penjual robot trading atau ebook ini cukup jeli melihat celah hukum yang bisa mereka manfaatkan.
3. Investasi bagi hasil sektor usaha riil
Modusnya adalah menawarkan investasi untuk mengembangkan usaha tertentu dengan imbal hasil yang cukup besar misalnya 10%-30% per bulan secara fixed.
Beberapa contohnya adalah penipuan suntik modal Alkes menyeret nama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Pertamina. Contoh lain adalah kampung kurma atau investasi kebun kurma, juga investasi kebun singkong yang menjanjikan imbal hasil yang sangat tinggi sampai 30% per bulan secara fixed.
4. Penawaran produk atau jasa dengan harga yang sangat murah
Modusnya adalah menawarkan sebuah produk atau jasa dengan harga yang jauh dibawah harga yang normal.
Contohnya adalah kasus First Travel yang menawarkan paket perjalanan umrah Rp 14,3 juta ketika standarnya menghabiskan biaya Rp 22 juta.
Setelah diusut, First Travel ternyata menggunakan skema ponzi dalam bisnisnya. Para calon jamaah haji atau umrah akan berangkat jika ada pendaftar masuk yang menyetorkan dana.
Kasus penipuan ini menjadi heboh pada 2017 karena menjerat hingga puluhan ribu korban. Banyak calon jamaah yang gagal berangkat sesuai tanggal yang sudah ditetapkan. Kerugian korban First Travel ditaksir mencapai Rp 1 triliun.
Sejauh ini penipuan berkedok investasi atau trading yang didasarkan pada skema ponzi selalu terlambat dideteksi, setelah korban berjatuhan baru heboh dan semua pihak saling menyalahkan.
Sebenarnya pada skema ponzi ini pada awal-awal pasti tidak ada yang melaporkan karena mereka sebenarnya juga ikut menikmati hasilnya. Namun pada titik tertentu jumlah anggota baru tidak dapat menutupi pengeluaran untuk membayar "imbal hasil" Â yang dijanjikan sehingga banyak orang yang merasa dirugikan mulai protes dan akhirnya membuka praktik skema ponzi yang sebenarnya sejak awal sudah terjadi.
Bisa jadi mereka yang awal-awal bergabung dengan investasi bodong ini sebenarnya mereka yang secara sadar ingin bergabung untuk mendapatkan ''keuntungan pribadi" dengan memanfaatkan momentum skema ponzi di awal-awal.
Jika demikian semestinya siapapun yang diuntungkan dari permainan investasi bodong ini mestinya harus ditangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bukan hanya penyedia platform investasi bodong, para affiliator, para influencer namun juga para pemain awal yang sudah menikmati keuntungan dari skema ponzi.
Namun hal ini tampaknya sangat sulit diwujudkan, boro-boro menangkap para pemain awal, menangkap para affiliator dan influencer saja sudah menjadi pekerjaan besar dan membutuhkan usaha yang luar biasa dan belum tentu bisa semua ditangkap.
Jadi yang paling penting adalah menetapkan sistim dan regulasi yang bisa mencegah terjadinya praktik skema ponzi yang berkedok investasi atau trading atau apapun modusnya. Sebelum mereka ini lahir atau berkembang dan merekrut banyak anggota mereka harus bisa dideteksi dan dicegah.
Ini memang pekerjaan yang tidak mudah di tengah perkembangan teknologi digital yang sangat cepat dan eksponensial. Namun demikian ini juga bukan hal yang mustahil untuk dilakukan dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki negara ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI