Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tahu Tempe, Ironi Makanan Sejuta Umat dengan Kandungan Lokal Hanya 10 Persen

1 Maret 2022   21:24 Diperbarui: 2 Maret 2022   18:33 1495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tempe dan tahu (Shutterstock via kompas.com)

Setiap tahun siklus Tahu Tempe langka terulang, kelangkaan tahu tempe karena harga kedelai naik sehingga perajin tahu tempe mogok produksi tahun ini merupakan pengulangan kejadian tahun lalu.

Siklus tahunan kelangkaan tahu tempe akan terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya karena Kementerian Pertanian memperkirakan produksi kedelai Indonesia terus menurun sejak 2021 hingga 2024 akibat makin menyusutnya lahan untuk menanam kedelai.

Sungguh sebuah ironi, karena tahu tempe adalah makanan rakyat, makanan warisan nenek moyang sejak dahulu kala dan seratus persen diproduksi di dalam negeri namun sayangnya hampir 90% bahan bakunya harus diimpor.

Munif Ghulamahdi pakar kedelai IPB mengatakan kebutuhan kedelai nasional pada tahun 2020 sekitar 2,6 juta ton, sementara produksi non-pasang surut hanya 0,3 juta ton atau hanya sekitar 11.5% dari total kebutuhan kedelai nasional.

Meskipun tahu tempe merupakan makanan sejuta umat yang dianggap produk dalam negeri asli, namun bila menilik kandungan lokalnya masih kalah jauh dengan mobil sejuta umat Toyota Avanza yang memiliki kandungan lokal sekitar 78,9% atau hampir 80%.

Hampir 90% kebutuhan kedelai sebagai bahan baku tahu tempe masih mengandalkan impor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor 2,49 juta ton kedelai dengan nilai mencapai US$ 1,48 miliar pada 2021.

Sebagain besar dari impor kedelai ini berasal dari Amerika Serikat sebesar 2,15 juta ton atau 86,3% dari total volume dengan nilai setara US$ 1,29 miliar.

Impor kedelai terbanyak kedua berasal dari Kanada sebesar 232 ribu ton atau 9,3% dari total volume dengan nilai setara US$ US$ 135,89 juta.

Total impor dari kedua negara tersebut menyumbang hampir 96% dari total volume impor kedelai Indonesia pada tahun 2021.

Ada beberapa faktor pemicu kenaikan harga kedelai di awal tahun ini, pertama karena pengaruh inflasi di Amerika Serikat selaku pemasok kedelai impor terbesar di Indonesia.

Inflasi di Amerika Serikat secara year on year pada Januari 2022 menyentuh angka 7,5 persen, tertinggi dalam beberapa dasawarsa ini. Inflasi ini mempengaruhi harga jual kedelai karena biaya produksi juga naik.

Faktor kedua, karena adanya gangguan cuaca di Amerika Latin sehingga menyebabkan turunnya produksi kedelai dari Brazil dan Argentina yang termasuk dalam tiga besar produsen kedelai dunia selain Amerika Serikat.

Karena suplai turun sementara demand relatif sama bahkan cenderung naik maka sesuai hukum demand-supply harga kedelai dunia akan naik.

Jadi ada dua faktor yang menyebabkan ketidakpastian harga kedelai dalam negeri di tahun-tahun mendatang. Faktor eksternal karena fluktuasi harga kedelai dunia dan faktor internal karena semakin berkurangnya lahan untuk menanam kedelai sehingga produksi dalam negeri terus menurun.

Namun karena kebutuhan kedelai nasional sebagian besar bergantung dari impor maka faktor eksternal yang lebih dominan. Dan faktor eksternal ini di luar kontrol kita karena harga kedelai dunia ditentukan oleh banyak faktor mulai dari faktor alam dan kondisi ekonomi negara produsen kedelai serta isu-isu global lainnya.

Yang bisa kita kendalikan adalah faktor internal, tapi ini hanya menyumbang sekitar 10 persen dari total kebutuhan nasional dan secara produktivitas juga masih jauh tertinggal dibanding negara lain.

Pertanyaannya adalah, dengan kondisi seperti di atas, apakah kita mampu atau katakanlah cukup realistis untuk bercita-cita swasembada kedelai di masa mendatang?

Ada dua hal yang menentukan kapasitas produksi kedelai secara umum yaitu:

  • luas lahan
  • produktivitas 

Luas lahan, saat ini memang terbatas karena sentra penanaman kedelai masih berpusat di pulau Jawa dimana kepadatan penduduknya sangat tinggi dan laju konversi lahan pertanian untuk kebutuhan perumahan dan industri terus meningkat.

Di luar Jawa masih tersedia lahan yang cukup luas untuk menanam kedelai, namun mengapa tidak ada yang mau melakukannya, bahkan pemerintah selaku pengatur dan pendorong juga tidak bergerak ke sana?

Tentu saja karena ada perhitungan ekonominya di sana, dan itu ditentukan oleh produktifitas tanaman kedelai dan produktivitas ditentukan oleh teknologi yang digunakan.

Bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, sudah pasti biaya tenaga kerja dan biaya infrastruktur di sana jauh lebih tinggi di banding negara kita, namun mereka bisa menjual kedelainya dengan harga yang lebih murah karena produktivitas mereka sangat tinggi.

Di Amerika Serikat mereka hanya menanam kedelai yang yang paling cepat masa tumbuhnya, paling tahan hama dan paling tinggi produktivitasnya. Semua sifa-sifat unggul yang ada dalam tanaman kedelai diambil dan diasatukan menjadi sebuah bibit unggul melalui rekayasa genetika.

Semua kedelai yang kita impor dari Amerika Serikat merupakan produk rekayasa genetika (PRG) atau genetically modified organism (GMO). Apakah kita sadar kalau selama ini kita mengkonsumsi kedelai hasil rekayasa genetika ? Aman-aman saja? atau...?

Mungkin kita kaget, tapi kita tidak sendirian. Berdasarkan sebuah survei yang dilakukan di tahun 2020, menunjukkan mayoritas responden ragu-ragu untuk membeli pangan hasil rekayasa genetika (71,3%). Bahkan, ada responden yang tidak akan membeli jika tahu produk itu adalah pangan hasil rekayasa genetika (7,9%).

Hasil survei di atas sejalan dengan anggapan banyak orang bahwa pangan hasil rekayasa genetika dianggap menimbulkan risiko terhadap kesehatan manusia seperti alergi makanan, kenaikan resistansi antibiotik, dan dampak yang tidak diinginkan lainnya.

Sebenarnya prinsip rekayasa genetika ini sudah sering dipraktikan oleh petani tradisonal yaitu dengan melakukan kawin silang tanaman untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan. Kawin silang tanaman merupakan salah satu bentuk rekayasa genetika secara sederhana.

Rekayasa genetika pada dasaranya adalah mengubah material genetik (DNA) sebuah organisme bisa berupa hewan, tanaman atau mikro organisme secara sengaja, bukan secara alamiah sehingga didapatkan sifat-sifat yang diinginkan.

Manipulasi sifat tanaman secara genetika dapat menjadi strategi ampuh untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Tanaman hasil rekayasa genetika memiliki kemampuan tahan terhadap hama, virus, dan memberikan hasil yang berlipat ganda.

Sebenarnya pangan hasil rekayasa genetika aman untuk dikonsumsi manusia baik secara ilmiah maupun secara empiris karena sudah dikonsumsi dalam jangka waktu cukup lama tanpa menimbulkan dampak buruk yang nyata.

Salah satu contohnya adalah kedelai yang di impor dari Amerika Serikat merupakan produk rekayasa genetika (RPG) yang sudah puluhan tahun dikonsumsi di Indonesia sebagai bahan baku tahu tempe.

Meskipun demikian masih banyak mis-informasi terkait dampak produk ini yang membuat orang menolak pangan hasil rekayasa genetika. Salah satunya adalah bahwa mengkonsumsi produk berbasis PRG akan menyebabkan efek alergi.

Selain itu ada anggapan bila mengkonsumsi PRG dalam waktu yang lama akan menyebabkan kanker, salah satu penyakit ganas yang paling ditakuti masyarakat. Meskipun sampai saat ini belum ada bukti jelas bahwa PRG dapat menyebabkan kanker.

Saat ini bio-teknologi tengah berkembang dengan pesat untuk menjawab tantangan penyediaan makanan bagi sekitar 8 miliar penduduk bumi yang jumlahnya terus bertambah sementara lahan pertanian yang tersisa semakin sedikit.

Penguasaan bio-teknologi ini sangat penting bila kita ingin berswasembada pangan disamping teknologi mekanisasi pertanian, Artifical Intellegence, Big Data dan teknologi digital lainnya yang dapat mendukung proses bertani.

Ternyata bukan hanya membuat mobil saja yang membutuhkan penguasaan teknologi tinggi, membuat tahu tempe pun membutuhkan penguasaan teknologi tinggi agar bisa benar-benar disebut produksi dalam negeri dengan kandungan lokal lebih dari 80%.

Jadi tidak cukup hanya dengan mendorong, menghimbau para petani agar menanam kedelai, untuk menaikkan produksi kedelai lokal. Bila tanpa bantuan teknologi tinggi atau penguasaan bio-teknologi dan rekayasa genetika yang tepat dan aman akan sulit bagi kita untuk berswasembada kedelai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun