Metaverse telah menjadi istilah yang hype dan populer akhir-akhir ini, terutama setelah Mark Zuckerberg mengganti nama perusahaannya dari Facebook Inc. menjadi Meta Platforms Inc.
Perubahan nama Ini menegaskan komitmen Facebook terhadap masa depan metaverse yang merupakan evolusi berikutnya dari koneksi sosial. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh CEO Facebook Mark Zuckerberg berikut ini.
"Di tahun-tahun mendatang, saya berharap orang-orang akan beralih dalam memandang kami dari awalnya perusahaan media sosial menjadi perusahaan metaverse." -Mark Zuckerberg-
Metaverse adalah sebuah istilah yang diberikan untuk evolusi internet menjadi dunia virtual di mana orang berinteraksi melalui diri-digital atau avatar.
Metaverse, kependekan dari "meta-universe," merupakan gabungan dari dunia nyata dan dunia virtual yang memungkinkan orang untuk berpindah di antara perangkat yang berbeda dan berkomunikasi dalam lingkungan virtual.
Ruang 3D di metaverse yang akan dibangun oleh Facebook ini memungkinkan orang bersosialisasi, belajar, berkolaborasi, dan bermain dengan cara yang melampaui apa yang dapat kita bayangkan.
Secara sederhana metaverse ini dibangun berdasarkan teknologi Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (AR). Facebook telah mengumumkan bahwa mereka berencana untuk mempekerjakan 10.000 orang di Uni Eropa untuk membangun metaverse.
Konsep metaverse yaitu penggabungan realitas fisik, realitas augmented (AR) dan realitas virtual (VR) dalam satu ruang digital sebenarnya sudah dikenal dalam novel fiksi ilmiah "Snow Crash" karangan Neal Stephenson pada tahun 1992.
Konsep ini juga telah diimplementasikan oleh industri game seperti Roblox -sebuah platform yang menyediakan banyak sekali game untuk anak-anak dan remaja atau Fortnite -sebuah game penembak dan bagaimana bertahan hidup.
Bagi yang tidak suka main game, mungkin bisa membayangkan simulator pesawat terbang atau Flight Simulator sebagai contoh implementasi dari konsep ini. Flight Simulator ini dilengkapi dengan simulasi kondisi cuaca dan efek gerak untuk merepresentasikan kondisi sesungguhnya yang dialami pilot ketika menerbangkan pesawat.
Dengan perkembangan teknologi internet saat ini, dunia virtual (VR) masih sebatas memberikan pengalaman pada indera penglihatan dan pendengaran (visual dan audio). Di masa yang akan datang kemungkinan kelima panca indera kita bisa merasakan pengalaman di dunia virtual.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ericsson Research, diprediksi kecanggihan teknologi internet pada tahun 2030 ditandai dengan kemampuan internet dalam merepresentasikan panca indra manusia.
Dengan demikian bukan hanya pengalaman secara visual dan audio yang bisa dihadirkan oleh internet namun juga aroma-digital, rasa atau pengecap-digital dan indera peraba untuk merasakan tesktur benda.
Untuk saat ini metaverse belum mengarah ke sana, namun cepat atau lambat pekembangan teknologi akan mengarah ke sana. Dengan demikian semua sensasi yang dialami panca indera manusia dalam dunia nyata dapat dihadirkan dalam dunia virtual atau metaverse.
Metaverse akan semakin canggih, bila awalnya hanya sekedar berbentuk avatar kedepan kemungkinan akan berubah menjadi hologram di mana diri kita bisa hadir sepenuhnya dalam dunia Meta. Dalam dunia tersebut kita benar-benar bisa merasakan sensasi selayaknya kehidupan di dunia nyata. Sehingga kita menjadi bingung mana yang nyata dan mana yang semu.
Sebagai contoh bila di dunia virtual kita ditusuk maka kita akan merasakan sakit yang benar-benar sakit seperti nyata. Demikian pula ketika kita makan dan mencicipi suatu makanan maka kita bisa merasakan rasa tersebut.
Jadi bila saat ini dunia Meta masih dalam berbentuk Avatar, dan sensasinya semu. Kelak akan ada teknologi yang membuat kita bisa merasakan sensasi sakit atau menyenangkan ketika bersentuhan dengan orang lain, atau mencium aroma wangi bunga.
Dengan adanya dunia meta yang luas dan tanpa batas maka kehidupan akan lebih fokus ke dunia digital. Di masa depan diprediksi bahwasannya manusia akan lebih nyaman berada di dunia "digital" daripada dunia nyata
Secara umum, kemajuan teknologi digital saat ini ditujukan untuk memudahkan pekerjaan manusia. Namun, pada praktiknya teknologi selain bisa memberikan dampak positif juga memiliki dampak negatif, tergantung kepada individu manusia yang menggunakannya.
Demikian juga dengan teknologi teknologi virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) yang digunakan untuk membangun metaverse atau dunia virtual saat ini.
Salah satu dampak positifnya dalam dunia pendidikan atau pelatihan misalnya dapat digunakan pada pendidikan kedokteran, para mahasiswa kedokteran atau calon dokter spesialis dapat melakukan praktik operasi tanpa harus menggunakan obyek makhluk hidup yang sesungguhnya.
Selain itu juga sebagai saran pelatihan calon pilot dengan menggunakan flight simulator, yang sangat efektif karena dapat menghilangkan resiko kecelakaan yang berakibat kerugian karena kehilangan pesawat atau nyawa calon pilot.
Namun demikian, dampak negatif dari interaksi virtual yang paling utama adalah masalah kesehatan mental yaitu gangguan kepribadian Skizotipal yang melibatkan delusi dan/atau halusinasi karena mereka sulit membedakan mana kehidupan yang virtual dan mana yang nyata.
Orang dengan gangguan kepribadian Skizotipal memiliki pola berpikir dan bertindak yang berbeda dari apa yang masyarakat anggap biasa atau normal.
Ciri-ciri kepribadian skizotipal, meliputi pengalaman yang tidak biasa, ketidaksesuaian impulsif, dan disorganisasi kognitif. Skizotipal dianggap sebagai sindrom subklinis yang mirip dengan skizofrenia.
Ada banyak fakta dan bukti yang dilaporkan mengenai pengaruh penggunaan digital atau interaksi virtual terhadap munculnya gangguan kepribadian Skizotipal ini.
Pertanyaannya adalah: Apakah penggunaan teknologi digital (VR) menyebabkan skizotipal (termasuk delusi dan distorsi kognitif), atau apakah mereka dengan kepribadian skizotipal cenderung menggunakan teknologi digital (VR)?
Dari berbagai studi dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknologi digital (VR) dapat menyebabkan skizotipal dan keduanya saling berkaitan. Dan orang dengan skizotipal cenderung menggunakan teknologi digital atau terlibat dalam dunia virtual, terutama yang terhubung ke game.
Salah satu alasan mengapa begitu banyak orang dengan skizotipal tertarik ke dunia virtual seperti itu adalah karena hal itu memungkinkan mereka untuk melarikan diri dari dunia nyata yang memicu beberapa masalah mereka.
Disisi lain interaksi dengan dunia digital atau virtual yang intens akan meningkatkan kemungkinan melarikan diri dari kehidupan nyata dan dengan demikian menghasilkan gejala delusi atau psikotik yang menyebabkan gangguan kepribadian skizotipal.
Hubungan timbal balik ini seperti sebuah lingkaran setan yang tidak ada ujungnya dan semakin lama semakin besar kerusakan yang ditimbulkan.
Hal ini yang harus diperhatikan oleh para pengambil kebijakan untuk melindungi generasi muda dari dampak buruk penggunaan teknologi digital atau interaksi dunia virtual.
Atau mungkin yang terjadi sebaliknya, apa yang dianggap saat ini cara hidup atau kepribadian skizotipal yang tidak normal justru akan diterima masyarakat sebagai "normal baru"?
Yang pasti teknologi akan terus berkembang dan apa yang terjadi di masa depan mungkin tidak bisa kita bayangkan akan benar-benar terwujud karena keterbatasan pengetahuan kita saat ini.
Disisi lain manusia akan terus berdaptasi mengikuti perkembangan teknologi sehingga terbentuk kesetimbangan baru antara "humanity" dan "technology". Sejarah telah membuktikan bahwa umat manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan paling tinggi dalam beradaptasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H